Oleh: Abdul Warits
Pilihannya selalu sama: antara kepentingan politik dan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di Indonesia, pertemuan dua ranah ini sering kali menimbulkan dilema dan tantangan tersendiri. Pilkada sebagai sebuah proses demokrasi yang memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin lokal tidak hanya sebatas pada aspek politik saja, tetapi juga berhubungan erat dengan isu-isu kemanusiaan yang fundamental.
Pilkada serentak, yang sering dilaksanakan dalam interval waktu tertentu, menggabungkan pemilihan untuk berbagai daerah secara bersamaan. Dengan lebih dari 270 daerah yang ikut serta, proses ini bukan hanya mengharuskan calon kepala daerah untuk merumuskan visi dan misi yang relevan dengan konteks lokal, tetapi juga untuk memahami dan mengintegrasikan isu-isu kemanusiaan seperti keadilan sosial, kesejahteraan, dan hak asasi manusia.
Dalam banyak kasus, keberhasilan atau kegagalan seorang pemimpin terukur dari seberapa besar tindakan mereka berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat dan perlindungan hak-hak dasar warga.
Namun, sayangnya, dalam praktiknya, politik sering kali mengalami distorsi akibat ambisi dan kepentingan tertentu. Ketika elite politik lebih mengedepankan kekuasaan, mereka kadang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Penyebaran informasi yang menyesatkan, fitnah, pembagian isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), serta tindakan represif terhadap lawan politik menjadi beragam taktik yang digunakan untuk meraih kekuasaan. Bukan hanya mencederai prinsip demokrasi, tetapi ini juga menciptakan polarisasi dalam masyarakat yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan konflik sosial.
Melalui Pilkada serentak, masyarakat dihadapkan pada pilihan untuk memilih pemimpin yang tidak hanya memiliki visi pembangunan, tetapi juga memahami pentingnya tindakan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan. Penyiraman kembali nilai-nilai kemanusiaan dalam ranah politik dapat dilakukan dengan mendorong partisipasi masyarakat. Keterlibatan aktif masyarakat dalam diskusi publik, forum pemilih, dan pengawasan pemilu dapat menciptakan kesadaran akan dampak dari keputusan politik yang diambil.
Peran lembaga-lembaga independen, masyarakat sipil, dan media massa juga sangat vital dalam meningkatkan kesadaran politik berbasis kemanusiaan. Melalui kampanye pendidikan pemilih yang menekankan pada pentingnya etika politik dan tanggung jawab sosial, masyarakat diajak untuk tidak hanya memilih calon pemimpin berdasarkan popularitas atau uang, tetapi pada kapasitas dan komitmen mereka terhadap isu-isu kemanusiaan.
Dalam era digital, media sosial juga memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan mengeksplorasi kebijakan publik. Namun, selain memberikan dampak positif, media sosial juga dapat digunakan untuk menyebarkan informasi yang salah dan berita bohong. Oleh karena itu, literasi media menjadi penting untuk mendorong masyarakat menjalani proses pemilihan secara lebih kritis.
Dengan tekad untuk membangun politik yang berlandaskan kemanusiaan, tantangan ke depan adalah menciptakan suatu sistem di mana setiap individu, terlepas dari latar belakangnya, merasa memiliki suara yang setara dalam menentukan masa depan daerahnya. Ini berarti harus ada kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, akademisi, serta sektor swasta dalam menciptakan lingkungan yang demokratis, adil, dan humanis.
Kesimpulannya, politik dan kemanusiaan dalam konteks Pilkada serentak adalah dua sisi dari koin yang sama. Untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan, perlu adanya sinergi antara proses politik yang bersih, transparan, dan akuntabel dengan nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar. Hanya dengan cara ini, kita dapat berharap akan muncul pemimpin-pemimpin yang tidak hanya berambisi untuk berkuasa, tetapi juga memiliki visi untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.