Oleh : Abdul Warits
Gerakan terorisme di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan kompleks, mulai dari gerakan separatis hingga jaringan terorisme internasional yang terinspirasi oleh ideologi radikal. Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, telah menghadapi berbagai tantangan dalam menangani kelompok-kelompok teroris yang mencoba memaksakan agenda politik atau keagamaan melalui kekerasan.
Tulisan ini akan menguraikan sejarah gerakan terorisme di Indonesia, dimulai dari era awal kemerdekaan hingga era globalisasi yang membawa jaringan terorisme internasional ke Indonesia, serta langkah-langkah pemerintah dalam menangani ancaman ini.
Awal Mula Gerakan Radikal di Indonesia
Sejak awal kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, kelompok-kelompok radikal muncul dengan berbagai motif dan tujuan politik yang berbeda. Salah satu gerakan radikal paling awal adalah Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada akhir 1940-an. DI/TII bertujuan untuk mendirikan negara Islam di Indonesia. Gerakan ini berhasil merebut beberapa wilayah di Jawa Barat, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan sebelum akhirnya berhasil dipadamkan oleh pemerintah pada awal 1960-an.
DI/TII kemudian menjadi salah satu cikal bakal berbagai gerakan radikal berbasis agama di Indonesia. Selama dekade berikutnya, meskipun pemerintah Orde Baru memperketat pengawasan terhadap kelompok-kelompok radikal, gerakan ini tetap eksis secara bawah tanah dan mengalami perubahan bentuk serta ideologi.
Pengaruh Jaringan Internasional pada 1980-1990-an
Pada 1980-an, jaringan radikal di Indonesia mulai terhubung dengan gerakan internasional, terutama setelah invasi Uni Soviet ke Afghanistan. Banyak warga Indonesia yang tertarik untuk bergabung dalam perjuangan di Afghanistan, yang pada saat itu dianggap sebagai perang suci melawan penjajah asing. Sekelompok relawan Indonesia yang disebut Mujahidin Afghanistan menerima pelatihan militer dan ideologi di Pakistan dan Afghanistan.
Sekembalinya ke Indonesia, para pejuang ini membawa pemahaman yang lebih radikal tentang jihad dan keterampilan militer yang meningkatkan potensi ancaman terorisme di tanah air. Salah satu tokoh penting dari periode ini adalah Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar, yang kemudian mendirikan organisasi Jamaah Islamiyah (JI) pada awal 1990-an. JI memiliki misi untuk mendirikan kekhalifahan Islam di Asia Tenggara dan terlibat dalam berbagai aksi terorisme di wilayah tersebut.
Masa Reformasi dan Munculnya Aksi Teror Besar
Reformasi pada 1998 yang mengakhiri era Orde Baru membuka kesempatan bagi kebebasan politik dan berkumpul yang lebih luas di Indonesia. Sayangnya, situasi ini juga memberi ruang bagi kelompok radikal untuk mengorganisir diri dan merekrut anggota baru. Jamaah Islamiyah, yang telah lama bergerak secara rahasia, mulai melakukan serangkaian aksi teror besar di Indonesia.
Peristiwa paling terkenal adalah Bom Bali pada 2002, yang menewaskan lebih dari 200 orang, sebagian besar warga asing. Serangan ini mengguncang dunia internasional dan menarik perhatian pada Indonesia sebagai pusat potensial bagi jaringan terorisme global. Setelah Bom Bali, beberapa serangan teroris besar lainnya terjadi, seperti Bom Kedutaan Besar Australia pada 2004 dan Bom Marriott pada 2003 dan 2009. Jamaah Islamiyah dikaitkan dengan banyak dari serangan ini, dan organisasinya dikenal memiliki hubungan dengan jaringan Al-Qaeda.
Pengaruh Kelompok ISIS pada 2010-an
Pada 2010-an, gerakan terorisme di Indonesia mengalami transformasi lagi ketika kelompok teroris ISIS muncul di Timur Tengah. ISIS menarik perhatian beberapa simpatisan di Indonesia dan berhasil merekrut warga Indonesia untuk bergabung dalam perjuangan mereka. Pada periode ini, muncul kelompok baru bernama Jamaah Ansharut Daulah (JAD), yang berafiliasi dengan ISIS. Kelompok ini melakukan serangkaian serangan teroris, termasuk pengeboman di Surabaya pada 2018, yang melibatkan serangan bunuh diri oleh satu keluarga, termasuk anak-anak.
Radikalisasi berbasis digital juga meningkat tajam pada masa ini. Media sosial dan aplikasi pesan instan menjadi alat utama bagi kelompok radikal untuk merekrut anggota baru dan menyebarkan propaganda mereka, sehingga pemerintah menghadapi tantangan baru dalam memantau dan menangani ancaman ini.
Upaya Pemerintah Menanggulangi Terorisme
Menghadapi ancaman yang terus berkembang, pemerintah Indonesia telah mengambil berbagai langkah untuk mengatasi terorisme. Pada 2002, pasca Bom Bali, pemerintah membentuk Detasemen Khusus 88 (Densus 88), satuan anti-terorisme yang dilatih untuk menangani serangan teroris dan mengungkap jaringan teroris di seluruh Indonesia. Densus 88 berhasil menangkap banyak pelaku teroris, membongkar jaringan mereka, dan mencegah beberapa serangan yang direncanakan.
Selain upaya represif, pemerintah juga mengadopsi pendekatan deradikalisasi. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerja sama dengan berbagai organisasi masyarakat dan tokoh agama untuk melaksanakan program-program deradikalisasi yang bertujuan untuk mengubah cara pandang eks-radikalis dan mencegah mereka kembali terlibat dalam terorisme. Pemerintah juga menggencarkan kampanye kontra-radikalisme di media sosial untuk melawan propaganda yang disebarkan oleh kelompok-kelompok radikal.
Sejarah gerakan terorisme di Indonesia menunjukkan betapa kompleks dan dinamisnya tantangan yang dihadapi negara ini dalam menangani kelompok radikal. Dari era awal kemerdekaan hingga pengaruh jaringan teroris internasional dan teknologi modern, Indonesia telah melihat evolusi gerakan terorisme yang terus beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Meski demikian, pemerintah Indonesia telah berupaya keras untuk mengatasi masalah ini melalui penegakan hukum, deradikalisasi, dan pemantauan ketat terhadap media sosial. Dengan pendekatan yang komprehensif, harapannya Indonesia dapat terus menjaga stabilitas dan keamanan masyarakat dari ancaman terorisme di masa depan.