Oleh: Abdul Warits
Maulid Nabi di kalangan masyarakat Madura merupakan tradisi unik yang digelar pada bulan Rabiul Awwal. Tradisi Maulid Nabi ini menjadi salah satu pertanda bagaimana keberislaman masyarakat Madura yang sangat kental melalui tradisi yang membumi. Tradisi ini biasanya diselenggarakan dengan beragam kemasan dan bentuk kegiatan yang menarik.
Dikutip dari Kabarmadura.id, Budayawan Sumenep Madura D. Zawawi menyebut ada berbagai macam tradisi Maulid Nabi yang biasa diselenggarakan masyarakat di Madura. Ritual penghormatan dan mengagungkan kelahiran Nabi Muhammad SAW itu biasanya paling besar digelar tepat di tanggal kelahiran Rasulullah, yakni pada 12 Rabiul Awal, yang juga disebut Molod Agung.
Dalam perayaan Molod Agung, Madura memiliki tradisi beragam, ciri khas dari barat hingga ujung timur cukup berbeda. Ngonjhang tatangge (mengundang tetangga) menjadi salah satu tradisi orang Madura yang saat ini terus dilestarikan selama Rabiul Awal. Bahkan hampir sama dengan hari raya Idulfitri/Iduladha. Hal inilah yang semakin mengeratkan ikatan emosional masyarakat Madura dalam kehidupan kesehariannya.
Dalam ngonjhang tatangge untuk merayakan Maulid Nabi, di Kabupaten Pamekasan terdapat salah satu tradisi yang memberikan berkat berupa ayam hidup untuk tamu yang hadir. Semisal 100 orang yang diundang, maka ada 100 ayam yang diberikan. Di Bangkalan juga terdapat tradisi hampir serupa, tamu yang datang diberikan berkat berupa burung hidup beserta kurungannya.
Sedangkan di Sampang, merayakan Maulid Nabi dengan membuat ketupat dari daun kelapa juga masih dilestarikan. Bahkan, juga menjadi keharusan menyembelih ayam untuk dimakan bersama-sama. Untuk di Sumenep juga ada yang menyembelih sapi dan mengundang tetangga dan dinikmati bersama.
Pada umumnya, di Madura, khususnya di Sumenep, memasak berbagai masakan, setelah itu datang ke salah satu masjid, semua makanan dikumpulkan dan dibagikan dengan saling tukar makanan antara satu dengan yang lainnya. Keberadaan buah-buahan yang dibungkus dalam wadah, baik plastik atau wadah lainnya, juga tidak boleh ketinggalan.
Sebagaimana yang dikutip dari Alif.id, Menurut Durkheim, dalam kepercayaan religius manapun, baik yang sederhana maupun yang kompleks, para pengikutnya selalu membagi dan membedakan dua hal; sakral dan profan. Hal ‘yang sakral’ selalu merupakan hal yang dihormati dan memiliki kekuatan besar. Sebaliknya, hal ‘yang profan’ merupakan pengalaman yang biasa, umum, dan rutin dikerjakan dalam kehidupan sehari-hari.
Teori yang ditinjau dari pendekatan fungsionalisme ini menghasilkan kesimpulan definitif bahwa agama berperan sebagai perekat sosial dalam masyarakat. Maka dari itu, agama sebagai fenomena sosial kemanusiaan dapat dipahami dengan menggunakan metode empiris. Fakta sosial adalah konstruksi teoritis bahwa dalam kehidupan sosial terdapat perilaku, cara dalam bertindak, dan pola pikir yang berulang-ulang, sehingga mencerminkan pola interaksi sosial dalam masyarakatnya. Perilaku sosial ini kemudian melahirkan tradisi yang dijaga bersama.
Dengan demikian, masyarakat sama-sama sepakat bahwa tradisi ini merupakan suatu yang “sakral” bagi mereka, karena didalamnya berisi tentang hal-hal yang sakral. Sosok Nabi dan hari kelahirannya merupakan suatu yang sakral, sehingga sangat dihormati dan diagungkan dan pada akhirnya membentuk kohesi masyarakat yang kuat. Salah satu bentuk dari kohesi tersebut dapat dilihat dari semua elemen masyarakat yang berkumpul bersama-sama. Bahkan, masyarakat yang sedang berada diperantauan pun menyempatkan diri untuk pulang ke kampung halamannya hanya ingin mengikuti perayaan maulid Nabi khas kebudayaannya.