Oleh: Tsabit Habibi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah “Kiai” bermakna sebutan bagi alim ulama (cerdik pandai dalam agama Islam). Sedangkan awal mula atau sejarah munculnya istilah ini konon bermula dari keampuhan benda-benda kuno yang dimiliki para penguasa di Tanah Jawa seperti raja, senopati atau para punggawa kerajaan. Benda berupa pusaka mengandung kekuatan gaib yang dipercaya masyarakat dapat menentramkan dan memulihkan kekuasaan dan ketenteraman suatu daerah atau negara. Benda itu dapat menambah kekuatan kesaktian pemakaiannya.
Secara umum istilah “kiai” dipergunakan untuk ketiga jenis gelar yang saling berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat. Contohnya, Kiai Garuda Kencana dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang ada di Keraton Yogyakarta. Kedua, gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
Ketiga, gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajarkan kitab-kitab Islam Klasik (Kitab Kuning) kepada para santrinya. Selain gelar kiai, ia juga sering disebut sebagai seorang alim atau ulama yang menunjukkan sebuah keluasan pengetahuan agama Islam yang dimilikinya.
Sementara istilah “kiai” dalam bahasa Jawa sering dipakai dalam banyak hal. Kiai adalah semua hal ini digunakan untuk menunjukkan sesuatu atau seseorang yang memiliki kualitas di atas rata-rata. Seorang kiai, sebagaimana dikutip Ronald Alan Lukens-Bull (2004) bahwa secara etimologis, kiai berasal dari kata “iki wae,” yang bisa diartikan “orang yang dipilih.” Ini menunjukkan bahwa kiai adalah spesial karena mereka pilihan Allah SWT.
Akan tetapi, istilah “kiai” bisa diterapkan juga pada selain manusia. Beberapa pusaka keraton Jawa ada yang disebut kiai, termasuk keris (pisau panjang Jawa) dan kereta yang dipakai keluarga-keluarga kerajaan.
KH Kholil Bisri menambahkan bahwa “kiai” adalah “sesuatu (atau segala sesuatu) yang istimewa. Bahkan besi dan sapi yang istimewa bisa bernama Kiai Pleret, Kiai Nogososro Sabuk Inten, Kiai Laburjagat, Kiai Slamet, dan lain-lain.”
Namun pengertian Kiai yang paling luas dalam Indonesia modern adalah pendiri dan pimpinan sebuah pesantren, yang sebagai Muslim “terpelajar” telah membaktikan hidupnya “demi Allah” serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan
Kadar semantik dari istilah “kiai” di sini mencakup secara mutlak komponen tradisional Jawa. Juga jika di sini berada dalam kesinambungan tradisional dan mencakup arti sebagai sesepuh kerohanian masyarakat, yang dianggap memiliki sesuatu kesaktian. Misalnya, ahli hikmah dan guru maupun pimpinan (politik) di daerah yang berwibawa, yang memiliki legitimasi wewenangnya berdasarkan kepercayaan penduduk. Dengan demikian, jelaslah bahwa predikat “kiai” berhubungan dengan suatu gelar yang menekankan pemuliaan dan pengakuan yang diberikan secara suka rela kepada ahli Islam pimpinan masyarakat setempat. Kiai adalah sebuah gelar kehormatan yang disandang bagi seseorang yang memiliki keluasan pemahaman dalam agama Islam.
Kiai dan pesantren adalah dua hal yang hampir-hampir tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Sebab, secara umum kiai bukan hanya orang yang memiliki keluasan pengetahuan agama. Melainkan juga orang yang sekaligus memiliki lembaga pondok pesantren.
Tetapi ada lagi sebutan kiai yang ditujukan kepada mereka yang memiliki pengetahuan luas tentang agama, namun tidak memiliki lembaga pondok pesantren. Kiai yang terakhir ini mengajarkan pengetahuan agama dengan cara berceramah dari desa ke desa, menyampaikan fatwa agama kepada masyarakat luas.
Karenanya julukan yang diberikan kepadanya adalah Kiai Teko atau Kendi. Para kiai penceramah ini diibaratkan sebuah teko berisi air, yang senantiasa memberikannya kepada setiap orang yang memerlukannya, dengan cara menuangkan air ke dalam gelas.
Ceramah yang disampaikan kiai ini sebagai siraman keagamaan kepada masyarakat. Sedangkan julukan kiai yang memiliki lembaga pondok pesantren adalah Kiai Sumur. Keberadaan kiai ini berdiam diri di rumah (pondok pesantren), dan masyarakat akan datang ke pondok
pesantren berniat menjadi santri untuk mendapatkan pengetahuan agama. Ibarat orang kehausan akan mengambil air dari dalam sumur. Masyarakat yang memerlukan pengetahuan agama harus datang sendiri ke tempat kediaman kiai.
Istilah kiai sebagian besar hanya berlaku di sebagian daerah Jawa Barat seperti Cirebon, Indramayu dan Subang. Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Sedangkan untuk sejumlah daerah lainnya, istilah lain yang semisal kiai dan lazim digunakan di daerah lainnya adalah ajengan, tuan guru, anregurutta, syekh, buya,dan lain sebagainya.