Oleh: Ahmad Fuadi Akbar
Terorisme telah menjadi ancaman serius bagi keamanan nasional Indonesia sejak masa kemerdekaan. Fenomena ini telah mengalami evolusi seiring dengan perubahan dinamika politik, sosial, dan keagamaan di negara ini. Artikel ini akan menelaah isu terorisme di Indonesia dari masa ke masa, mengidentifikasi pola-pola yang muncul, serta menganalisis respons pemerintah terhadap ancaman ini.
1. Era Pasca Kemerdekaan (1945-1965)
Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia menghadapi berbagai pemberontakan separatis yang dapat dikategorikan sebagai bentuk terorisme. Salah satu yang paling signifikan adalah pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo di Jawa Barat pada tahun 1949.
Menurut sejarawan M.C. Ricklefs dalam bukunya “A History of Modern Indonesia Since c. 1200” (2008), “Gerakan DI/TII bertujuan untuk mendirikan negara Islam di Indonesia dan menolak ideologi Pancasila. Gerakan ini melakukan berbagai aksi teror terhadap penduduk sipil dan aparat pemerintah.”
2. Era Orde Baru (1966-1998)
Selama era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, aksi terorisme relatif terkendali karena pendekatan keamanan yang keras. Namun, beberapa insiden tetap terjadi, seperti pembajakan pesawat Garuda Indonesia Woyla oleh kelompok ekstremis pada tahun 1981.
Sidney Jones, seorang ahli terorisme di Asia Tenggara, dalam laporan International Crisis Group (2005) menyatakan, “Meskipun aksi terorisme tampak terkendali selama era Orde Baru, akar-akar radikalisme tetap tumbuh di bawah permukaan, terutama di kalangan kelompok-kelompok Islam garis keras.”
3. Era Reformasi (1998-sekarang)
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru, Indonesia mengalami lonjakan aksi terorisme yang signifikan. Beberapa peristiwa penting mencakup:
a. Bom Bali I (2002) Serangan bom di Bali pada 12 Oktober 2002 menewaskan 202 orang dan merupakan serangan teroris terburuk dalam sejarah Indonesia.
Profesor Rohan Gunaratna, ahli terorisme internasional, dalam bukunya “Inside Al Qaeda: Global Network of Terror” (2002) menulis, “Bom Bali menandai munculnya Jemaah Islamiyah (JI) sebagai ancaman terorisme regional yang serius di Asia Tenggara.”
b. Bom Hotel JW Marriott (2003) dan Bom Kedutaan Besar Australia (2004) Kedua serangan ini semakin menegaskan ancaman terorisme di Indonesia.
Zachary Abuza, dalam bukunya “Political Islam and Violence in Indonesia” (2007), menyatakan, “Serangan-serangan ini menunjukkan bahwa kelompok teroris di Indonesia memiliki kapabilitas untuk menargetkan aset-aset asing dan pemerintah secara efektif.”
c. Bom Bali II (2005) Serangan kedua di Bali menewaskan 20 orang dan melukai lebih dari 100 orang lainnya.
Menurut laporan International Crisis Group (2006), “Bom Bali II menunjukkan bahwa meskipun pemerintah Indonesia telah meningkatkan upaya kontra-terorisme, jaringan teroris masih mampu melakukan serangan besar.”
d. Munculnya ISIS dan Pengaruhnya di Indonesia Sejak 2014, Indonesia menghadapi ancaman baru dengan munculnya kelompok yang berafiliasi dengan ISIS.
Institut for Policy Analysis of Conflict (IPAC) dalam laporannya tahun 2017 menyatakan, “Pengaruh ISIS di Indonesia telah mengubah lanskap terorisme, dengan munculnya sel-sel kecil yang terinspirasi oleh ideologi ISIS dan melakukan serangan ‘lone wolf’.”
Respons Pemerintah
Pemerintah Indonesia telah mengambil berbagai langkah untuk menangani ancaman terorisme, termasuk:
a. Pembentukan Densus 88 pada tahun 2003 b. Pengesahan UU Anti-Terorisme pada tahun 2003 dan revisinya pada tahun 2018 c. Peningkatan kerjasama internasional dalam kontra-terorisme
Profesor Sarlito Wirawan Sarwono, psikolog dan ahli terorisme Indonesia, dalam bukunya “Terorisme di Indonesia” (2012) menyatakan, “Pendekatan keras (hard approach) harus diimbangi dengan pendekatan lunak (soft approach) dalam menangani terorisme di Indonesia. Program deradikalisasi dan pembinaan mantan narapidana terorisme menjadi kunci dalam memutus rantai radikalisme.”
Tren Terkini dan Tantangan Masa Depan
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi tantangan baru dalam isu terorisme, termasuk:
a. Radikalisasi online b. Returnees dari Suriah dan Irak c. Keterlibatan perempuan dan anak-anak dalam aksi terorisme
Dr. Noor Huda Ismail, pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, dalam sebuah wawancara dengan The Diplomat (2019) menyatakan, “Kita perlu pendekatan yang lebih komprehensif dan inklusif dalam menangani terorisme. Melibatkan masyarakat sipil, tokoh agama, dan mantan teroris dalam program pencegahan dan deradikalisasi adalah langkah yang krusial.”
Kesimpulan
Terorisme di Indonesia telah mengalami evolusi yang signifikan dari masa ke masa. Dari pemberontakan separatis di era pasca kemerdekaan hingga ancaman kelompok-kelompok yang terinspirasi oleh ISIS, Indonesia terus menghadapi tantangan dalam menjaga keamanan nasional. Meskipun pemerintah telah mengambil berbagai langkah untuk menangani ancaman ini, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan adaptif untuk menghadapi tantangan terorisme di masa depan.
Dengan memahami sejarah dan pola terorisme di Indonesia, diharapkan dapat dikembangkan strategi yang lebih efektif dalam mencegah dan menanggulangi ancaman ini, serta membangun masyarakat yang lebih tangguh terhadap radikalisme dan ekstremisme.