Oleh: Tsabit Habibi
Negara Indonesia merupakan Negara kepulauan yang dibentuk dari berbagai etnis, suku bangsa yang memiliki beragam bahasa, agama dan budaya. Negara ini memiliki suku asliatau atau suku pribumi yang menghuni tanah leluhurnya sejak dahulu kala. Adapun sukusuku itu adalah suku Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan Papua. Selain itu ada juga suku bangsa pendatang seperti Arab, Tionghoa, India, Pakistani, dan lain sebagainya. Tentu perbedaan ini menjadikan Indonesia sebagai Negara yang multi-kultur dan disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan segala keberagaman yang ada perlu proses dan perdebatan yang panjang dalam sejarah pendirian Negara Indonesia ini.
Soekarno adalah Presiden pertama yang telah berjasa besardalam mendirikan bangsa yang multi ras, agama, dan budaya ini. Beliau merupakan sosok yang luar biasa karena dengan segala intelektualitas dan permenungannya telah meletakkan Negara Indonesia di atas dasar Pancasila. Dalam sidang BPUPKI 1945 Soekarno memimpikan terwujudnya “Indonesia bagi semua”, maka semua warga harus merasa sebagai orang Indonesia dan membangun Indonesia yang sama. Di dalam Pancasila, yang di jiwai semangat gotong royong, segala perbedaan sosial dilebur. Maka dari sinilah Pancasila merupakan landasan yang ideal bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan bermasyarakat.
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan terror terhadap sekelompok masyarakat. Teror atau terorisme selalu identik dengan kekerasan. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk dengan tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang sering kali merupakan warga sipil. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serangan terorisme yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi dan oleh karena itu para pelaku terorisme layak mendapat pembalasan yang kejam.
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Centre (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Kejadian ini merupakan isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bom Bali I, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Isu terorisme di Indonesia khususnya menjadi perhatian dunia karena adanya anomali di mana Indonesia adalah negara dengan populasi muslim paling banyak di dunia namun masyarakat Indonesia memilih untuk mengutuk serangan teroris tersebut.
Menurut ketentuan hukum Indonesia, aksi terorisme dikenal dengan istilah tindak pidana terorisme. Sebagaimana tertuang dalam peraturan pemerintah pengganti Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2002 yang kemudian diperkuat menjadi Undang-
Undang nomor 15 tahun 2003. Judul perpu atau Undang-Undang tersebut adalah pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kasus terakhir di Indonesia, Organisasi Keagamaan Pelajar Intra Sekolah seperti Rohis (Kerohanian Islam Pelajar) terindikasi disusupi oleh Gerakan Hizbut-Tahrir. Padahal Hizbut-Tahrir di Indonesia telah dinyatakan sebagai organisasi terlarang karena berafiliasi dengan terorisme berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-0028.60.10.2014.
Masyarakat perlu mengetahui bahwa terorisme bukanlah hal baru dalam kehidupan sosial maupun politik. Menurut sejarah meski istilah Teror dan Terorisme baru mulai populer abad ke-18, namun fenomena yang ditujukannya bukanlah baru. Menurut Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982), manifestasi Terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Perkembangannya bermula dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran. Pembunuhan terhadap individu ini sudah dapat dikatakan sebagai bentuk murni dari Terorisme dengan mengacu pada sejarah Terorisme modern.
Faktor yang menyebabkan terjadinya aksi terorisme yaitu pelaku teroris di Indonesia sejatinya tidak mampu memahami dan menerapkan nilai-nilai pancasila, khususnya sila ke-1, sila ke-2, dan sila ke-3 secara komprehensif, mereka cenderung mengagungkan ideologinya dengan cara menebar teror. Cara terror atau kekerasan itulah yang menimbulkan disintegrasi bangsa Indonesia yang sudah semestinya harus dihancurkan dan dimusnahkan dalam masyarakat Indonesia.Persoalan munculnya terorisme di Indonesia dapat pula disebabkan karena bangsa Indonesia melupakan nilai-nilai luhur Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, yang mempunyai nilai moral positif sebagai upaya pencegahan terhadap aksi terorisme.
Salah satu cara mengimplementasikan nilai-nilai pancasila dalam mencegah aksi terorisme yaitu jika sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa ini mampu dilaksanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegera. Tentunya, aksi terorisme dapat dihindari sejak dini. Pancasila memuat makna keberagamaan dan kebersamaan yang dapat mencegah aksi terorisme.