Oleh: Tsabit Habibi
KH. Ahmad Basyir AS, merupakan putra dari KH. Abdullah Sajjad bin Syarqowi dengan Nyi. Hj. Syafiyah. Lahir dan dibesarkan di pondok pesantren terkemuka daerah Madura, PP. Annuqayah, Guluk-guluk Sumenep. Sejak kecil, beliau diajarkan untuk mencintai ilmu dan mengabdi untuk ilmu.
Kiai Basyir, merupakan panggilan akrab orang-orang yang mengenalinya. Lahir di Sumenep pada tanggal 10 Agustus 1930/02 Safar 1349. Pendidikannya bermula di Pondok Pesantren Anuqoyah sekitar tahun 1937-1945, kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, Jawa Timur, tahun 1949-1952.
Pondok Pesantren Sidogiri adalah satu-satunya pesantren tempat KH. Ahmad Basyir muda bermukim menuntut ilmu. Beliau pernah mengaji pada KH. Syamsuri, di Tebuireng selaku menantu KH. Hasyim Asy’ari, tetapi hanya dalam rangka khataman.
Pada saat berada di Pondok Pesantren Sidogiri, beliau adalah sosok santri yang selalu siap menegur teman-temannya yang sangat minim rasa ta’dzimnya kepada guru. Bahkan ketika klompen (peccak, madura) milik KH. Cholil Nawawi selaku pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri sering hilang karena di–ghosab santri Jawa, beliau membeli lampu strongking ke Pasuruan untuk mencari klompen tersebut, dan ketika klompennya ditemukan beliau tak segan-segan akan memarahi santri yang nakal itu habis-habisan. Hal menarik lainnya adalah ketika beliau menjadi santri kesayangan pengasuh dan mengikuti pengajian khusus dengan KH. Zayadi (Kanigaran, Probolinggo) kepada KH. Cholil Nawawi.
KH. Ahmad Basyir merupakan ulama kharismatik yang sangat disegani. Selain itu, beliau juga merupakan tokoh pejuang kemerdekaan yang pernah bergabung dalam barisan Sabilillah. Yang sangat patut untuk dikagumi adalah kegigihannya dalam memanggul senjata sendiri untuk bertempur melawan penjajah Belanda, dalam rangka mengangkat harkat martabat bangsa dan negara. Beliau selalu berada di barisan paling depan dalam membela tanah air.
Kiai Basyir adalah salah seorang kiai yang merepresentasikan kiai pesantren secara otentik, yaitu kiai yang sepanjang hayatnya didedikasikan untuk mendidik santri, mengedukasi masyarakat sekitar, dan memajukan organisasi keulamaan Nahdhatul Ulama. Karena itu, hidup Kiai Basyir ini tak ada yang sia-sia. Beliau adalah bagian dari orang-orang yang anfa’uhum lin nas.
Tapi, seperti umumnya kiai pesantren, seluruh aktivitas ibadah dan kerja-kerja sosial Kiai Basyir ini sepi dari publisitas media. Mungkin beliau tak menginginkannya. Sebab, di hati orang-orang seperti Kiai Basyir ini, bukan kemasyhuran dunia yang dicari. Para sufi senantiasa berharap kemulian di akhirat nanti. Seperti digambarakan Ibnu Atha’illah al-Sakandari, Kiai Basyir ini menempuh khumul dalam beribadah kepada Allah. Ibnu Atha’illah berkata, “idfin wujudaka fi ardhil khumul”.