Oleh : Tsabit Habibi
Drs. KH. A. Warits Ilyas adalah salah satu pengasuh pondok pesantren Annuqayah, Guluk-guluk Sumenep Madura. Pesantren tersebut berdiri semenjak tahun 1887 M dan memiliki sejarah perjalanan yang panjang. Kiai Warits resmi mengasuh pondok pesantren Annuqayah daerah Lubangsa sejak tahun 1972 hingga beliau berpulang ke Rahmatullah pada tahun 2014 yang silam.
Kiai Warits lahir di Guluk-guluk Sumenep pada tanggal 12 November 1938 M dari pasangan KH. Mohammad Ilyas Syarqawi dengan Nyai Arfiyah binti Zainuddin. Kiai Ilyas, ayahandanya, merupakan seorang kiai alim di masanya dan salah satu putra pendiri pondok pesantren Annuqayah, yakni KH. Mohammad Syarqawi al-Qudusi.
Dalam mendidik, Kiai Ilyas berusaha menanamkan pada putranya untuk selalu hidup sederhana dan selalu menjaga budi pekerti yang luhur. Peran ayahanda begitu signifikan hingga membentuk pribadi Kiai Warist yang saleh nan tawaduk.
Kiai Warits adalah seorang kiai karismatik yang tidak hanya mampu beradaptasi dengan dunia pesantren dan me-manage-nya dengan baik, tapi beliau juga mengabdikan potensinya dalam bidang politik. Beliau juga merupakan sosok Kiai yang dikenal sangat tawaduk dan istikamah. Benar-benar teladan dan panutan umat.
Sebagai pendidik, beliau merupakan contoh yang tidak perlu diragukan dalam banyak hal. Sesuai nama, Kiai Warits seolah-olah diproyeksikan sebagai pewaris ayahnya. Dalam istilah Drs. Thabrani Rasyidi, beliau senantiasa mendidik santri dan umat dengan “lisān al-hāl”, praktik dan sikap.
Di samping sebagai dewan pengasuh pondok pesantren Annuqayah, sosoknya aktif dalam panggung-panggung politik. Semenjak kecil, beliau telah dihadapkan dengan kondisi dinamika pesantren yang terus bergejolak sebagai dampak dari perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaannya.
Hal ini tentu mendorong beliau untuk juga turut berperan di beberapa sektor kehidupan sebagai upaya mendedikasikan seluruh jiwa raganya demi kesejahteraan hidup berbangsa dan bernegara. Karena itu, beliau juga melebarkan sayapnya di beberapa organisasi yang memiliki visi-misi selaras dengan perjuangan beliau sendiri.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah ijtihad politik yang dipilih oleh Kiai Warits. Beliau istikamah dengan ijtihad politik ini. Dari sinilah beliau mulai mengeksplorasi karier politiknya.
Pada pemilu 1977, Kiai Warits mencalonkan diri sebagai Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan terpilih. Semakin lama, karier politik beliau makin naik. Hal itu disebabkan karena cara politiknya mampu meneladani bagi semua anggota dewan lainnya tentang sejatinya berpolitik.
Di masa selanjutnya, Kiai warits dipilih sebagai anggota MPR-RI pada tahun 1992, di mana sistem pemilihannya bukan langsung dari rakyat. Sebab sistem demokrasi kala itu DPR maupun MPR dipilih oleh daerah dengan cara ditunjuk langsung oleh pemerintah daerah. Hingga pada tahun 1999 beliau terpilih sebagai ketua DPC PPP di Sumenep dan pernah menjabat sebagai wakil ketua DPRD Kabupaten Sumenep periode 2004-2009 M.
Sepanjang perjalanan beliau menjadi tokoh politik, ada banyak hal yang bisa kita teladani. Salah satunya adalah kedisiplinan beliau, bahwa nyaris tidak ada anggota dewan yang dapat meniru kedisiplinan Kiai Warits. Datang dan pulang tepat waktu. Bukan hanya dalam hal itu saja, bahkan untuk menghadiri salat berjemaah pun juga demikian, selalu tepat waktu. Pernyataan ini juga didukung oleh Ali Wafa dalam tulisannya yang berjudul “Tak Susah Dapat Barakah”.
Di antara keteladanan Kiai Warits yang tersirat adalah “sempat”. Baginya, sempat bukan hanya persoalan lowong dan menganggur. Tapi lebih dari itu, sempat adalah prinsip, ia hanya akan dimiliki oleh orang yang memiliki dedikasi tinggi. Sebagai orang terpandang dengan seabrek aktivitas di luar pesantren, Kiai Warits masih selalu mendedikasikan waktunya menunaikan berbagai kegiatan, di antaranya mengisi pengajian, tahlilan, mengajar. Bahkan sebelum berangkat dinas, beliau tetap disiplin dan aktif mengimami salat berjemaah di masjid pondok pesantren Annuqayah.
Kiai Warits adalah figur yang teguh pendirian, termasuk dalam berpolitik. Beliau tidak pernah menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadinya. Di dalam buku Oase Keteladan KH. A. Warits Ilyas, Ida Royani menyaksikan bahwa beliau sama sekali tidak pernah mau menggunakan mobil dinas untuk kepentingan pribadinya.
Hal serupa juga dibenarkan oleh pernyataan Hodri Ariev yang mendapati hal demikian, bahwa di suatu kesempatan Kiai Warits hendak menghadiri acara pribadi, maka sebagai wakil ketua DPRD, tentu saja fasilitas mobil dinas plus supirnya sudah ada dan siap berangkat kapanpun dibutuhkan oleh Kiai. Tapi beliau menolak fasilitas tersebut. Justru kiai lebih memilih kendaraan lainnya.