Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan? Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Suara Santri · 12 Jun 2024 11:29 WIB ·

Meneladani Adab-adab Berpolitik Para Pemimpin ala Imam Al-Ghazali


 Meneladani Adab-adab Berpolitik Para Pemimpin ala Imam Al-Ghazali Perbesar

Oleh: Ibnu Abbas

Dalam tatanan suatu negara, politik adalah keniscayaan. Cita-cita mulia untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa harus ditempuh melalui jalur politik. Sebab hanya dengan cara itu, kekuasaan dan wewenang dapat dipegang oleh sang pemimpin.

Namun demikian, tak jarang para pemimpin justru menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang itu. Sehingga bukan kesejahteraan dan kemakmuran yang didapat. Melainkan sebaliknya, kedzaliman yang dilingkupi kesengsaraan merajalela dan menghantui rakyatnya.

Sebagai suatu jalan meraih kekuasaan, berpolitik perlu didasari dengan pondasi etika dan adab yang kuat. Etika dan adab tersebut menjadi tolak ukur hasil dari gerakan politik yang dilakukan. Apakah berdampak positif pada kehidupan atau justru sebaliknya.

Salah seorang tokoh muslim terkemuka, Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali atau yang dikenal dengan Imam Al-Ghazali sedari awal telah banyak memberikan pelajaran melalui karya-karya kitabnya. Dalam kitab al-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Muluk, karya Imam Al-Ghazali yang ditashih oleh Ahmad Syamsuddin terbitan Dar al-Kutub al-Ilmiyyah Beirut: 1409/1988 M, menjelaskan beberapa adab berpolitik. Hendaknya adab tersebut dijadikan pegangan bagi para penguasa.

Imam al-Ghazali menjelaskan tentang dasar-dasar keadilan yang harus dimiliki oleh para pemimpin. Dasar-dasar keadilan itulah yang akan mengantarkan mereka menjadi pemimpin yang memiliki adab dan etika yang baik.

  1. Memahami Nilai dan Risiko Kekuasaan

Sebagai seorang pemimpin, Imam al-Ghazali menasihati untuk senantiasa memahami nilai dan risiko daripada kekuasaan. Kekuasaan adalah nikmat yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya yang dipilih. Barangsiapa yang menjalankan kekuasaan tersebut dengan benar, ia akan mendapatkan kebahagiaan yang tiada batasnya. Namun sebaliknya, barangsiapa yang menyalahgunakan kekuasaan, ia akan terjurumus dalam celaka yang tiada taranya kecuali kufur kepada Allah SWT. Na’udzubillah.

Bahkan, saking pentingnya seorang pemimpin berperilaku adil, Rasulullah Saw. bersabda: “Tindakan adil seorang penguasa satu hari saja lebih disukai oleh Allah daripada beribadah selama tujuh puluh tahun.”

  1. Selalu Mendengarkan Nasihat Ulama

Terjun di dunia politik tentu harus didasari dengan iman yang kuat. Apalagi bila sampai mampu meraih kekuasaan dan menjadi seorang pemimpin. Agar keimanan dan adab selalu terpancar dalam setiap kebijakan dan peraturan yang dibuat, hendaknya tidak abai dengan nasihat para ulama. Seorang pemimpin harus antusias meminta dan mendengarkan nasihat dari para ulama. Sebab pemimpin dan ulama adalah dua sisi mata uang yang harus selalu menguatkan.

Kendati penting mendengar nasihat ulama, namun seorang pemimpin juga perlu hati-hati terhadap ulama-ulama culas yang serakah terhadap dunia. Mereka yang berlindung di balik status sosial-agama pasti suka memuji, menipu dan berusaha membuat senang karena rakus ingin mendapatkan harta. Ulama sejati adalah mereka yang senantiasa menasihati para pemimpin dengan kata-kata baik dan bijak. Tidak serakah dengan harta dunia seorang pemimpin.

  1. Jangan Biarkan Kedzaliman Merajalela

Pemimpin memiliki tugas dan tanggung jawab yang demikian kompleks. Mulai dari pendidikan, ekonomi, sosial dan lain sebagainya. Ia harus terus mengupayakan yang terbaik untuk kesejahteraan rakyat yang ia pimpin. Karena itu, seorang pemimpin hendaknya tidak membiarkan kedzaliman merajalela di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Seorang pemimpin harus selalu memberikan edukasi kepada generasi muda dan masyarakat secara umum, terlebih juga kepada rekan kerja yang membantu di setiap pekerjaan-pekerjaan sebagia penguasa agar mereka tidak sampai berbuat dzalim. Bila dibiarkan, tentu Allah Swt. akan meminta pertanggungjawaban kelak di akhirat.

Dikisahkan, Umar bin Khattab pernah menulis surat untuk Gubernurnya yang bernama Abu Musa al-Asy’ari, ”Sesungguhnya penguasa paling bahagia ialah karena dia rakyatnya bahagia. Sebaliknya, sesungguhnya penguasa paling celaka ialah yang karena rakyatnya celaka. Hati-hati terhadap sikap berlebihan, karena para pejabatmu pasti akan mengikutimu. Perumpaan kamu laksana seekor binatang ternak yang melihat padang gembalaan yang hijau, lalu ia makan yang banyak sehingga ia menjadi gemuk. Dan kegemukannya inilah yang menyebabkan kematian, karena dengan demikian ia akan segera disembelih untuk dimakan.”

  1. Menjadi Pemimpin yang tidak Sombong

Lazimnya seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan dan wewenang cenderung bersikap sombong. Dari kesombongan itulah muncul kemarahan rakyat hingga menaruh dendam yang luar biasa. Sedangkan kemarahan adalah sesuatu yang membahayakan bagi tatanan kehidupan.

Maka sebagai seorang pemimpin harus menjadi pribadi yang tidak sombong dan pemaaf. Sebab, menurut Imam al-Ghazali, bila seorang pemimpin sudah terbiasa memberikan maaf, perilakunya menyamai para nabi dan wali Allah Swt. Sebaliknya, pemimpin yang suka melampiaskan amarahnya pada hal-hal yang fatal, ia menyamai serigala dan binatang.

  1. Selalu Berusaha Membahagiakan Rakyat

Sejatinya, antara pemimpin dan rakyat sama-sama manusia biasa. Hamba Allah Swt yang tiada daya dan upaya kecuali mendapat Ridha-Nya. Sehingga setiap apapun yang tidak disukai oleh seorang pemimpin tentu juga tidak disukai rakyatnya. Jangan sampai menyenangkan rakyat dengan sesuatu yang justru tidak disenangi oleh dirinya sendiri sebagai pemimpin. Itu menandakan bahwa seorang pemimpin telah berkhianat kepada rakyatnya sendiri.

  1. Jangan Abaikan Rakyat yang Butuh Bantuan

Seorang pemimpin tidak hanya memiliki hak kuasa dan wewenang untuk mengatur kebijakan di wilayah yang ia pimpin. Lebih dari itu pemimpin juga bertanggungjawab mengurusi dan menolong rakyatnya yang tengah mengalami kesusahan. Maka seorang pemimpin tidak boleh abai dengan rakyat yang butuh uluran tangan pemimpinnya.

Imam al-Ghazali mengingatkan agar setiap pemimpin jangan pernah meremehkan kejenuhan orang-orang yang sedang berdiri di depan pintu rumahnya untuk sekadar meminta bantuan. Jangan tunda untuk menolongnya meskipun tengah sibuk melakukan ibadah-ibadah sunnah. Bahkan memenuhi kebutuhan kaum muslimin lebih utama daripada melakukan ibadah-ibadah sunnah.

  1. Hindari Gaya Hidup Hedonis

Amanah yang diberikan rakyat untuk menduduki tahta kepemimpinan jangan lantas disalahgunakan. Sebab tidak jarang mereka yang sudah menduduki kekuasaan dan punya segalanya justru asyik dengan kesenangan-kesenangan nafsu. Seperti halnnya mengenakan pakaian mewah dan menikmati makanan lezat.

Sebagai seorang pemimpin, menurut Imam al-Ghazali, hendaknya bersifat qanaah. Sebab hanya dengan itu, seorang pemimpin bisa berbuat adil kepada rakyat-rakyatnya.

  1. Bersifat Lemah Lembut

Setiap persoalan yang dihadapi, baik oleh dirinya sendiri maupun rakyatnya, sepanjang bisa dilakukan dengan sifat lemah lembut, jangan sampai berbuat kasar dan keras. Karena sesungguhnya, sifat lemah lembut akan mengantarkan kepada kebaikan.

Rasulullah Saw bersabda: ”Setiap penguasa yang tidak berlaku lembut kepada rakyatnya, niscaya karenanya pada hari kiamat nanti Allah Ta’ala tidak berkenan berlaku lembut kepadanya.”

Bahkan pada suatu hari Rasulullah Saw juga berdoa: ”Ya Allah tolong perlakukan lembut setiap penguasa yang berlaku lembut kepada rakyatnya. Sebaliknya perlakukan kasar setiap penguasa yang berlaku kasar kepada rakyatnya.”

  1. Menjadi Pemimpin yang Dicintai Rakyat

Seorang pemimpin yang sejati adalah pemimpin yang mencintai rakyatnya, selalu berusaha membuat senang dan bahagia rakyatnya. Hanya dengan itu, rakyat akan mencintai pemimpinnya pula.

Rasulullah Saw bersabda: ”Sebaik-baik umatku ialah orang-orang yang mencintai kalian dan kalian juga mencintai mereka. Dan seburuk-buruk umatku ialah orang-orang yang membenci kalian dan kamu juga membenci mereka yang melaknati kalian dan kalian juga melaknati mereka.”

Artikel ini telah dibaca 23 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Jejak Keagungan dan Kebijaksanaan Wanita yang Diabadikan Kitab Suci

5 Oktober 2024 - 06:32 WIB

Pesantren Menghadapi Pilkada dan Politik: Antara Netralitas dan Partisipasi

30 September 2024 - 05:29 WIB

Peran Guru Ngaji di Madura

29 September 2024 - 23:30 WIB

Santri dan Demokrasi: Peran Pesantren dalam Membangun Bangsa

29 September 2024 - 23:03 WIB

Ciri Khas Pesantren Madura: Menggali Tradisi, Pendidikan, dan Nilai Lokal

29 September 2024 - 21:10 WIB

Ekologi Pesantren: Mengintegrasikan Kehidupan Spiritual dan Lingkungan

29 September 2024 - 20:36 WIB

Trending di Suara Santri