Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan? Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Kontra Narasi · 8 Jul 2024 11:23 WIB ·

Radikalisme Agama: Mengusik Keberagaman Masyarakat Indonesia


 Radikalisme Agama: Mengusik Keberagaman Masyarakat Indonesia Perbesar

Oleh; Moh. Faiq*

Rentetan peristiwa berdarah antar dan intern umat beragama yang terlalu memalukan untuk disebut satu persatu dalam berbagai persengketaan, peperangan, saling bunuh dan sebagainya, telah menodai kesucian agama. Termasuk di Indonesia, beberapa kejadian memilukan yang cukup membuat hati teriris saat terjadi perselisihan hingga pengeboman yang dikarenakan hanya perbedaan pandangan. Terlalu banyak mungkin, untuk disebutkan. Padahal, bila mengingat fakta-fakta historis, Indonesia merupakan negara yang tersusun dan terbentuk dari keberagaman. Kemerdekaannya pun, tidak hanya diperjuangkan oleh satu atau dua golongan, melainkan semua suku dan agama ikut serta berjuang.

Munculnya kelompok radikal terlebih dalam agama Islam yang saat ini dapat kita saksikan, sebenarnya tidak lepas dari perjalanan sejarah keagamaan dan ekses dari suasana politik global. Sebagaimana disebutkan dalam buku “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia” menuliskan, gerakan radikalisme muncul pada akhir tahun 1970-an yang mendapatkan momentum oleh pecahnya Revolusi Islam Iran, dengan keberhasilan para Mullah menggulingkan Syah Iran pada 1979. Sementara di sisi lain, selama Orde Baru kelompok-kelompok sosial maupun politik yang tidak memiliki ruang gerak, kemudian dengan momentum reformasi, kembali bangkit, tak terkecuali kelompok Islam yang secara hegemoni psikologis merasa tidak cocok dengan Orde Baru yang mereka anggap sekuler.

Paham radikalisme ini, sudah pasti akan mengancam persaudaraan sesama bangsa. Betapa tidak, jika saudara kita yang beragama non Islam, di daerah-daerah tertentu, saat melakukan misa di geraja pada malam Natal harus dijaga oleh aparat keamanan, bukankah ini merupakan hal yang tidak boleh terjadi di negara yang konstitusinya menjamin kemerdekaan penduduk dalam menjalankan ibadah agamanya? Pun sebaliknya, bukankah sesuatu yang menakutkan jika pesantren sudah dianggap sebagai penebar benih radikalisme-terorisme?

Padahal dalam prinsipnya, agama adalah petunjuk Tuhan yang bertujuan membawa keselamatan dan kedamaian bagi manusia. Sebab di dalamnya, mengandung norma-norma dan nilai-nilai yang dapat menampung kepentingan manusia yang berbeda-beda, sehingga diharapkan dapat tercipta suatu kehidupan yang damai dan tentram di dunia. Sebab, Tuhan menurunkan agama kepada manusia bukan untuk dijadikan pemecah belah antar satu kelompok dengan yang lain, tetapi sebagai suatu pesan Tuhan yang akan dijadikan sebagai penataan bagi kehidupan sosial. Oleh sebab itu, tidak ada satu agama pun yang mengajarkan sesuatu yang buruk atau membawa keburukan bagi kehidupan insan. Segenap norma dan nilai dalam ajaran agama-agama senantiasa mengarahkan manusia pada jalan kedamaian dan kesejukan.

Menata Kehidupan Beragama: Harmonis Ditengah Masyarakat Pluralis

Usia agama hampir sama tuanya dengan usia manusia. Sejak awal kehidupan manusia di muka bumi ini secara inheren telah beradaptasi dengan semacam kepercayaan atau keyakinan akan adanya yang gaib, yang memiliki superioritas atas segala yang ada, yang kemudian disebut Tuhan, Dewa, dan berbagai sebutan lain dalam berbagai bahasa. Kepercayaan itu sedemikian melekat pada manusia, sehingga tidak dapat dipisahkan darinya. Namun, sejak empat puluh tahun terakhir, kata Kiai Abdurrahman Wahid, pendidikan dan dakwah Islam cenderung bersifat memusuhi, mencurigai, dan tidak mau mengerti agama lain. Akibatnya, pengetahuan dan penghayatan beragama menjadi sangat sempit, mudah tersinggung, sensitif terhadap pemeluk agama lain, mudah tersulut bermain keras dalam beragama, bahkan mengatasnamakan agama untuk kepentingan tertentu.

Pada sisi yang lain, klaim-klaim kebenaran di tengah masyarakat pluralis sangatlah membahayakan terhadap keberlangsungan persatuan. Semua perlu hati-hati untuk tidak terlalu mudah mengeluarkan fatwa, apalagi fatwa yang mengklaim kesesatan suatu pendapat, ajaran, dan aliran. Klaim-klaim demikian akan mematikan interpretasi-interpretasi baru dalam pemikiran keagamaan, karena interpretasi yang dipandang benar adalah interpretasi yang telah ada, telah mapan, dan satu adanya; sementara kebenaran interpretasi lain dipandang hanyalah sebuah kekeliruan, kendati kebenaran lain itu didukung oleh argumentasi-argumentasi yang kuat dan valid. Sehingga tindakan tersebut, harus dihindari oleh semua agama atau pun golongan demi terciptanya dan terjaganya persatuan dan kerukunan masyarakat Indonesia.

Selain itu, wacana pendidikan pluralis-multikultural sudah masanya untuk dirancang secara matang agar dapat diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan pluralis-multikultural ini adalah proses penyadaran masyarakat dengan wawasan pluralis (menyangkut keberagamaan) dan sekaligus multikultural (bicara budaya). Pendidikan ini menjadi penting mengingat pluralitas dan multikultural yang tumbuh di Indonesia sudah berkembang sedemikian rupa. Sehingga untuk menghindari, mengantisipasi, dan menanggulangi konflik yang bernuansa agama ataupun etnis diperlukan adanya proses pendidikan yang berwawasan pluralis-multikultural.

Satu contoh, negara Madinah yang berdasarkan Piagam Madinah, sebuah negara mini yang disemaikan Nabi Muhammad SAW, adalah sebuah prototipe negara pluralis yang menghargai hak-hak asasi manusia dan memberikan pemenuhan hak yang setara. Di negara tersebut, terdapat komunitas Muslim, Yahudi, dan kaum musyrik Arab kala itu. Masing-masing komunitas dapat hidup berdampingan secara damai dan tidak saling bermusuhan. Hal ini menjadi gambaran pada kita semua, bahwa nabi tidak pernah menghendaki pertikaian antar agama bahkan ia lebih mengedepankan sikap-sikap toleran. Maka menjadi tanggung jawab kita, sebagai umatnya, untuk tetap merawat keberagaman, harmonisasi di tengah perbedaan, dan menghindari tindakan-tindakan yang mengancam pada persatuan. Salam!

Artikel ini telah dibaca 36 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Membangun Jembatan Perdamaian di Era Digital

1 Oktober 2024 - 19:36 WIB

Harmonisasi dalam Keberagaman: Kunci Kemajuan Bangsa

1 Oktober 2024 - 19:33 WIB

Harmoni dalam Keberagaman: Jalan Persatuan Bangsa di Era Bonus Demografi Menuju Indonesia Emas

1 Oktober 2024 - 19:31 WIB

Toleransi: Pilar Utama Masyarakat Multikultural

30 September 2024 - 06:22 WIB

Pendidikan sebagai Kunci Perdamaian Berkelanjutan

30 September 2024 - 06:20 WIB

Media dan Perannya dalam Mempromosikan Toleransi

30 September 2024 - 06:17 WIB

Trending di Kontra Narasi