Oleh : Abdul Warits
Imam Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Abu Manshur Al-Maturidi (lahir di Maturid Samarkand, yang tanggal kelahirannya sulit di lacak, diperkirakan pada pertengahan abad ke-3 Hijriyah, tetapi wafat Al-Maturidi, di sebutkan oleh banyak referensi adalah pada tahun 333 Hijriyah).[1]
Masa hidup al-Maturidi tersebut kebetulan berada dilingkungan penguasa Samarkand yang terkenal luhur budi, cinta ilmu, dan senantiasa memuliakan para ulama, yakni keluarga Abu Saman yang menguasai wilayah Khurasan dan Transoxania dari tahun 261 H s/d 389 H. keluarga penguasa yang berasal dari sebuah daerah bernama Saman itu, salah satunya yang pernah ikut berkuasa ialah Asad bin Saman.[2]
Abu Manshur al-Maturidi adalah pengikut Abu Hanifah dan faham-faham teologinya banyak persamaannya dengan faham-faham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistim pemikiran teologi yang ditimbulkan oleh Abu Manshur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiyyah namun literatur mengenai ajaran-ajaran Abu Manshur dan aliran al-Maturidiyyah tidak sebanyak literature mengenai ajaran-ajaran Asy’ariyyah.
Abu Manshur Al-Maturidi adalah pengikut madzhab Hanafi sedangkan Asy’ari adalah pengikut madzhab Syaif’i, oleh karena itu pengikut Maturidi adalah orang-orang Hanafiyyah sedang pengikut Asy’ari adalah orang-orang Syafi’i. Boleh jadi ada beberapa perbedaan pendapat antara kedua orang tersebut, karena adanya perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dengan Syafi’i itu sendiri.
Abu Manshur Al-Maturidi dalam bidang kajiannya mempunyai sejumlah kitab yang diantaranya ialah: Kitab Ta’wil al-Qur’an, Kitâb Ma’khuz al-syara‘i, Kitab al-Jadal, Kitab al-Ushul al-Dîn, Kitab al-Maqalat fi al-kalam, Kitab al-Tauhid, Kitab Radd Awa’il al-‘adilah li al-Ka’bi, Kitab Radd Tahzib al-jadal li al-Ka’bî, kitab Radd al-Ushûl al-Khamsah li Abi Muhammad al-Bahili, al-Radd al-Imamah li Ba’dhi al-Rawafidh, dan al-Radd ‘ala al-Qaramithah.
Berdasarkan pengamatan terhadap beberapa hasil karya alMaturidi serta situasi dan kondisi masyarakat pada masanya, maka dapat dikemukakan faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya pemikiran teologinya yang pada perkembangan berikutnya melahirkan aliran Maturidiyah[3]:
- Ketidakpuasan terhadap konsep teologi Mu‟tazilah yang terlalu berlebihan dalam memberikan otoritas pada akal. Hal ini dapat dilihat dari beberapa judul tulisannya yang secara eksplisit menggambarkan penolakannya terhadap Mu‟tazilah, seperti Kitab Radd Awa‟il al-Adillah li al-Ka‟bi, Kitab Radd Tahdhib al-Jadal li al-Ka‟bi dan Kitab Bayan Wahm al-Mu‟tazilah (Al-Syahrastani, t.th.,: 76-77). Dan pada saat yang sama al-Maturidi juga tidak puas atas konsep teologi ulama salaf yang mengabaikan penggunaan akal.
- Kekhawatiran atas meluasnya ajaran Syi‟ah terutama aliran Qaramithah yang dengan keras menentang ulama-ulama salaf. Khusus di wilayah Asia Tengah aliran ini banyak dipengaruhi oleh paham Mazdakism, sebuah aliran komunis yang dicetuskan oleh Mazdak bin Bambadh seorang reformis militan pada abad ke-5 M pada masa kekuasaan Sasania (lihat Nicholson dalam Hansting (ed.), t.th. p. 508-509). Ajaran aliran ini terkait dengan Manichaeism sebuah ajaran yang merupakan percampuran antara ajaran Kristen dengan Zoroaster dan ajaran-ajaran Budha (Baven dalam Hansting (ed.), t.th.,: 394-402). Kitab al-Radd „ala Qaramitah yang ditulis oleh al-Maturidi merupakan suatu indikasi akan kekhawatirannya atas pengaruh ajaran ini pada
Kasus Mu’tazilah yang demikian tersebut jelas menimbulkan ketegangan ditengah kaum muslimin. Karena sebagian kaum muslimin non-Mu’tazilah justru berkeyakinan sebaliknya, yakni meyakini bahwa al-Qur’an bersifat Qadim (kebalikan dari sifat hadis), dan al-Qur’an bukan makhluk. Melihat adanya ketegangan seperti itu, maka tampillah dua orang tokoh (Imam) yang berusaha meluruskan faham-faham Aqidah (Teologi) tersebut agar tetap berpegang teguh pada dua sumber ajaran pokok Islam, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dua orang Imam tersebut adalah Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 935 M) dan Abu Mansur Al-Maturidi al-Samarqandi (w. 944 M)4 . Pemikiran kalam dua tokoh inilah kemudian yang menjadi titik awal Pembangunan mazhab Ahlussunnah Waljama’ah (Sunny), sebuah istilah yang timbul sebagai reaksi terhadap pemikiran kalam Mu’tazilah.[4]
Terjadi banyak perbedaan, baik antara mazhab yang berlainan maupun dikalangan mazhab Ahlussunnah Waljama’ah sendiri, buktinya konsep yang ditawarkan oleh Al- Maturidi akan sedikit ada perbedaan dengan konsep Al-Asy’ari yang cenderung fatalis. Salah satu sebab yang membedakan diantara masing-masing kelompok tersebut adalah faktor metodologis dalam memahami doktrin-doktrin skriptural (ajaran-ajaran nash kitab suci maupun teks hadist), dan didalam memberikan konsesi (izin/peluang) peranan akal dalam pemahaman dan penafsiran tersebut. Ada kelompok yang tekstualis/literalis (terikat pada bunyi nash) ada yang kontekstualis/substansial (melihat kaitan dan hakikat maksudnya). Ada lagi yang memilih jalan tengah (tawassuth/moderat) diantara kutub-kutub pemikiran metodologi tersebut.[5]
Menurut Fazlurrahman reaksi langsung golongan aswaja terhadap muktazilah dan syiah mengalami titik kulminasi . sejak masa kedua tokoh ini doktrin aswaja mulai tertata secara sistematis.[6]
[1] Muhammad Tholhah Hasan, Ahlusunnah Wal-Jamaah dalam persepsi dan tradisi NU, (Jakarta; Lantabora Pers, 2005), hlm. 24.
[2] Noer Iskandar Al-Barsany, Pemikiran Kalam Imam Abu Mansur Al-Maturidi (Perbandingan dengan kalam Mu’tazilah dan Al-Asy’ari), (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 10
[3]Hamka, “Maturidiyah Kelahiran dan Perkembangannya”, dalam Jurnal Hunafa Vol. 4, No. 3 September 2007:257-270, hal, 261.
[4]Isma’il Raji Al-Faruqi, Tauhid, (Bandung; Pustaka, 1995), hlm. vii
[5]M. Tholhah Hasan, Ahlussunnah Waljama’ah dalam persepsi dan tradisi NU, (Jakarta; Lantabora Press, 2005), hlm. Xiii.
[6]Fazlurrahman, Kebangkitan dan Pembaruan di dalam Islam (Bandung : Penerbit Pustaka, 2000), hal, 38