Oleh: Susi Qamariyah
Waktu mengantarkan semuanya pada titik seharusnya, seperti halnya senja, kini telah tenggelam pulang mengantarkan rindu. Dan pagi akan menyambut lalu mendekap, seakan-akan tak ingin kehilangan rindunya. Namun, berbanding terbalik dengan kehidupannku, keadaan sedang tak berpihak padaku. Rindu yang semestinya kudekap kini harus kulepas dengan kerelaan, kenapa begitu? Mungkin takdir merelakan. Perasaan yang kurawat selama 6 tahun harus rela kutanam lebih dalam lagi, bahkan kalua perlu menjadi busuk, kering dan hancur. Aku rasa merawatnya sudah taka ada guna, karena objek yang dituju sudah memilih jalannya, memilih persinggahan yang kupunya.
**
“Aku akan menikah” itu kata Alan waktu berkunjung kerumahku. Aku masih tak menanggapi racauannya, karena aku kira itu hanya gurauan.
“Kamu kapan nath?” tanyanya, aku menoleh dan mengedikkan bahu. Jujur saja, taka da sekali pemikiran untuk menikah karena aku merasa masih terlalu muda menghadapi yang seperti itu.
“Kamu serius mau menikah?”
“Emang ada raut kebohongan diwajahku?”
“Syukur, sama siapa?” tanyaku penasaran
“Naisyilla, kita bertemu pas kuliah dulu, dia satu organisasi denganku” katanya menjelaskan meski aku tidak bertanya. Tunggu! Naisyilla? Masak ia dia? Tidak mungkin dia, kan nama Naisyilla bukan Cuma dia, kataku membatin.
“Kamu ada fotonya?”
“Kenapa? Kamu penasaran ya? Udah, kamu daatang saja nanti pas resepsi, kamu pasti tahu, kalau gitu aku pulang dulu ya”
“Acaranya kapan? Biar kusiapkan hadiahnya jauh-jauh hari” kataku nyeracau
“Ha..ha, kamu bisa saja Nath, acaranya minggu depan”
Aku mengantar Alan ke teras rumah, sepeda bututnya membawa pergi hingga tak tampak lagi setelah melewati belokan depan rumah.
“Ah, Naisyilla, bagaimana kabarmu?” kataku membatin. Aku begitu merindukannya, kabarnya nyaris tak terdengar setelah kita tidak satu kampus
**
Hari ini resepsi Alan, serasa waktu begitu cepat mengantar kebahagiaannya dan cukup lama mengantarkan rinduku, entah harus sampai kapan aku menunggu. Waktu masih ingin bermain teka-teki dan entahlah, apa aku bisa memecahkannya.
“Hay Nath, lo apa kabar?” Rian menyapaku.
“Diundang juga kamu?”
“Iya, kamu sama siapa ke sini, lama banget y akita tidak bertemu. Makin ganteng saja”
“Ah, ngaco kamu, ya udah acaranya mau mulai tuh” ajakku pada Rian, aku berjalan meneliti sekitar berharap ada keajaiban bagiku bertemu dengan Naisyilla tanpa kesengajaan. Dari jauh aku melihat Alan dengan senyum kebahagiaannya Bersama istrinya, itu kan…..
“Kamu kenapa Nath?” Rian tiba-tiba mengagetiku
“A….aku tidak apa-apa”
“Aku ngerti perasaan kamu, orang yang kamu tunggu selama ini sekarang dia ada di sini”
“Iya Ri, tapi dia tak bisa kukejar lagi, tak bisa kutunggu lagi. Sekarang dia sudah menjadi istri dari sahabat aku sendiri”
Aku mekangkah pergi meninggalkan acara itu, meninggalkan rindu yang seharusnya kudekap. Kini, tak ada lagi kesempataan bagiku untuk meraihnya ke dalam pelukan. Mungkin itu sudah kebahagiaan untuknya dan luka untukku. Selama ini aku yang selalu berharap jadi aku pula yang menerima rasa pahit ini. Karena objek dari rinduku sudah menemukan muaranya, sedang yang kupunya harus cepat-cepat dibuang hingga tak tersisa.