Oleh : Mohammad Haris – Duta Damai Santri Jatim
KHR. As’ad Syamsu Arifin merupakan ulama’ kharismatik pejuang Nahdlatul Ulama’ (NU) dan Negara Republik Indonesia (NKRI) yang telah dikokohkan menjadi Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 09 November 2016.
Ulama’ yang lahir di kota mekah pada tahun 1897 masehi tersebut banyak menghasilkan pemikiran-pemikiran yang sangat baik untuk kepentingan NU dan Bangsa Indonesia, salah satunya adalah penerimaan Asas tunggal Pancasila sebagai Ideologi terbuka Bangsa Indonesia.
Sebagaimana dijelaskan dalam buku yang berjudul “K.H.As’ad Syamsul Arifin, Sejarah Hidup & dan Pandangannya tentang Pancasila” karangan Prof. Dr. Abu Yazid, M.A., LL.M. bahwa satu satunya Ulama’ NU yang menerima Asas pancasila adalah beliau KHR. As’ad syamsul Arifin.
Didalam buku tersebut dijelaskan bahwasannya dalam dekade 80-an sebagian besar tokoh negeri ini masih sibuk membicarakan dan memperdebatkan rencana pemberlakuan Pancasila sebagai satu-satunya asas, tetapi KHR. As’ad Syamsul Arifin , Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo sudah mengantongi jawabannya. Bagi Kiyai as’ad,Sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dalam Pancasila merupakan cermin ketauhidan bagi umat Islam sehingga penggunaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dapat diterima.
Dalam menyikapi isu pemberlakuan asas tunggal Pancasila saat itu, Kiyai As’ad tidak hanya menggunakan pertimbangan Agama, tetapi jugak pertimbangan historis yang melatari pemikirannya. Hal tersebut seperti yang dipaparkan Chairul Anam dalam sebuah bukunya bahwa ada tiga pertimbangan kenapa Kiyai As’ad menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas, yaitu:
- Bahwa Pancasila dirumuskan oleh para tokoh kemerdekaan, termasuk diantaranya K.H.A Wahid hasyim, tokoh Nahdlatul Ulama’ (NU);
- Bahwa sila-sila dari Pancasila, terutama sila pertama, mencerminkan tauhid menurut pengertian islam dan tidak bertentangan dengan agama Islam;
- Bahwa menjaga keutuhan dan kemurnian penafsiran Pancasila dari Penafsiran yang salah itu perlu.
Dalam buku karangan Prof. Abu Yazid itu dijelaskan bahwasannya Kiyai As’ad selaku sesepuh NU pada waktu itu menjadikan NU sebagai Ormas islam pertama kali yang menerima Asas Tunggal Pancasila, yang sebelumnya beliau bersama sejumlah Kiyai sepuh lainnya menemui Presiden Soeharto dikediamannya, Jalan Cendana Jakarta. Pertemuannya ini pada intinya bertujuan menjelaskan posisi dari masing-masing Pancasila dan Agama. Karena itu, dalam pertemuan tersebut Kiyai As’ad menyodorkn pertanyaan apakah ada jaminan penerapan Pancasila sebagai asas tidak mereposisi Islam dan lain-lain? Kalau Pancasila ditempatkan dalam Agama, kita berpisah sampai disini, ujar Kiyai As’ad menyampaikan aspirasi dan kegelisahan para Kiyai pada saat itu. Presiden Soeharto kemudian menjawab bahwa dia menjamin Pancasila tidak akan dijadikan Agama atau Agama dijadikan pancasila. Tetapi, Pancasila akan menjadi semacam pintu gerbang untuk masuknya semua agama, semua komponen bangsa, untuk bersama-sama membangun Bangsa. Agama ya, Agama, Pancasila ya, pancasila.
Dalam pertemuan tersebut, akhirnya Kiai As’ad menegaskan NU siap menerima asas Pancasila. Sebab, sejak semula NU memang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam hal penerimaan asas Pancasila,yang dalam hal ini terkait dengan sila pertama Pancasila yaitu ‘Ketuhanan yang maha Esa’, Kiai As’ad berpandangan bahwa sila pertama adalah ‘cerminan Tauhid’ bagi umat Islam. Pemikiran ini kemudian dielaborasi dan dirumuskan dalam Munas NU tahun 1983 menjadi sebuah deklarasi tentang hubungan Pancasila dan Islam. Deklarasi tersebut terdiri dari lima poin sebagai berikut:
- Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara RI bukanlah agama, tidak dapat menggantikan kedudukan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama;
- Sila ketuhanan yang maha Esa sebagai dasar Negara RI menurut pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam islam;
- Bagi nahdlatul Ulama’, islam adalah Aqidah dan Syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia;
- Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya;
- Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pemngamalannya yang murni dan konsekuensi oleh semua pihak.
Di dalam buku itu jugak dijelaskan bahwasannya Bagi Kiai As’ad Indonesia tidak perlu menjadi Negara Islam, sebab jika masyarakat Indonesia mampu menjalankan nilai-nilai syariat Islam dikehidupan berbangsa dan bernegara sehari-hari, maka hal tersebut sesungguhnya menjadi harapan dan idaman bagi setiap muslim. Karena itu, Pancasila dapat menjadi potret “Piagam madinah” dizaman modern. Dengan menerapkan pola dan konfigurasi keberagaman seperti itu maka insyaallah kita akan ditiru oleh negara-negara lain. Ungkap Kiai as’ad.
Sebagai tokoh NU kharismatik yang amat disegani pada dekade 80-an, kiyai As’ad sering menjadi rujukan dan tumpuan masyarakat menyangkut isu kenegaraan yang bergulir pada saat itu, utamanya tentang asas tunggal Pancasila yang hendak diterapkan pemerintah dan mengundang pro-kontra ditengah masyarakat.