Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Kontra Narasi · 26 Mei 2024 13:00 WIB ·

Pesantren dan Bullying dalam Kacamata Agama


 Pesantren dan Bullying dalam Kacamata Agama Perbesar

Oleh: Ubaidillah

Pesantren sebagai tempat yang efektif dalam membimbing asuhannya (santri) tentu mengerahkan program-program yang positif. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya pembekalan bagi santri dalam berinteraksi dengan tuhan dan hubungan sosialnya.

Selain kitab sebagai ciri khas dari pesantren, akhlak pun tidak kalah penting dijadikan acuan dalam mendidik santri. Akhlak merupakan bimbingan dari pesantren kepada santri, baik secara tertulis atau tingkah laku, akhlak pada kiai, guru, atau pada sesama santrinya.

Mayoritas masyarakat mengklaim bahwa santri merupakan orang yang ahli dalam keagamaan dan akhlak yang dilakukan. Sebagaimana pendapat dari para ulama, bahwa akhlak menjadi kepentingan yang harus dipahami dan dilakukan lebih dahulu atau lebih penting ketimbang ilmu. Sebab, ilmu tanpa dikordinir oleh akhlak pada akhirnya ilmu tersebut yang dapat mencelakakan diri kita sendiri. Lantas, apa kabar dengan fenomena bullying di pesantren?

Dikutip dari Jurnal Kesehatan dr. Soebandi Vo. 7 No. 1 perihal penelitian yang berkaitan dengan kasus bullying yang terjadi di Jember. Dalam penelitian tersebut, terdapat wawancara kepada korban mengenai bullying. “bullying itu kayak mukul gitu. Kayak nindas temannya gitu,”dan lain lain yang komentarnya bersifat negatif. Otomatis, bagaimana dengan ciri khas santri yang terkenal sebagai ahli agama dan baik akhlaknya? Apakah islam mengajarkan kekerasan?

Islam sebagai agama Rahmatal lil alamin, tentunya tidak mungkin membimbing umatnya dalam kejahatan. Bullying yang terjadi di pesantren itu dilakukan oleh pelaku memang benar benar salah. Sesuai dengan penyataan salah satu korban dalam Jurnal Kesehatan dr. Soebandi Vol 7 No 1, “anu apa ya. Itu kan saya termasuk yang terkenal di sekolahan terus mungkin dia juga merasa tersaingi. Mungkin. Jadinya saya dibully, pakai ngejek-ngejek,” dan banyak lagi penyebab bullying dalam jurnal tersebut yang dilakukan pelaku secara garis salah menurut hukum agama dan negara. Agama juga mengajarkan akhlak pada tumbuhan, dan hewan apalagi dengan manusia yang memiliki akhlak, gitu kan?

Dalam kitab akhlak apapun, pastinya tidak akan mengajarkan kekerasan atau kedzaliman kepada orang lain. Begitu juga dengan bullying yang sifatnya negatif sesuai dengan kronologi yang dilakukan oleh pelaku. Bahkan, Nabi pun memberikan pemahaman pada kita untuk memuliakan tetangga, orang lain dalam lingkup pesantren pastinya juga tetangga bagi santri. Sebab, santri dengan santri yang lain pastinya ada interaksi sosial yang dilakukan di pesantren yang jaraknya sangat dekat. Namanya juga memuliakan tentu tidak akan melakukan kedzaliman sebab keduanya adalah tingkah laku yang kontra.

Dalam paham ahlussunnah wal jamaah, hubungan dengan tuhan tidak akan cukup tanpa hubungan dengan manusia. Tentunya kedua hubungan tersebut harus terjalin secara baik. Hubungan yang baik dengan orang lain itu dimulai dari diri sendiri, melakukan hal-hal positif pada orang lain, tidak dengan bullying yang sifatnya negative atau dzalim.

Oleh sebab itu, jika kitab yang santri kaji hanya sekedar pengetahuan saja tanpa pengamalan otomatis itu hal yang salah dan menjadi pengotor bagi perspektif masyarakat terhadap santri yang memiliki akhlak yang baik dan memiliki wawasan keagamaan yang mumpuni. Lantas, siapa yang akan mengontrol situasi di zaman sekarang sesuai dengan agama Islam yang mengajarkan pada hal kebaikan? Dengan penggolongan bullying pada hal yang buruk, tentunya agamapun melarangnya. Jika bullying dilakukan oleh santri, bagaimana status santrinya yang dikenal sebagai orang yang ahli agama?

Memang bisa saja tidak merasakan dampaknya di dunia, bagaimana pertanggungjawaban di hadapan tuhan kelak di akhirat? Ketika dunia sebagai ladang beramal untuk bekal di akhirat tidak dimanfaatkan secara baik. Bagaimana kondisi kita diakhirat? Toh, sekalipun kita berbekal, berbekal amal keburukan yang justru menjerumuskan diri sendiri. Begitu bukan?

*Siswa Kelas akhir MA Tahfidh Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep

Artikel ini telah dibaca 36 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Politik Damai: Jalan Menuju Kehidupan yang Harmonis

21 November 2024 - 08:56 WIB

Politik dan Kemanusiaan dalam Pilkada Serentak

19 November 2024 - 11:09 WIB

Membangun Kehidupan Berbangsa Melalui Toleransi dan Keadilan

30 Oktober 2024 - 06:13 WIB

Radikalisme dan Upaya Pembentukan Desa Siaga sebagai Benteng Keamanan Nasional

30 Oktober 2024 - 05:55 WIB

Menilik Sejarah Radikalisme dan Terorisme di Indonesia

26 Oktober 2024 - 05:18 WIB

Radikalisme dan Tantangan yang Dihadapi Negara

26 Oktober 2024 - 05:06 WIB

Trending di Kontra Narasi