Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan? Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Suara Santri · 19 Jan 2024 08:07 WIB ·

“Jika Masa Iddahmu Habis, Aku Ingin Menikahimu,” Bolehkah Kalimat Ini Diucapkan?


 bincangsyariah Perbesar

bincangsyariah

Oleh: Anis Faikatul Jannah

Hukum syariat menetapkan bahwa semua perempuan yang dapat dinikahi boleh dilamar, sementara perempuan yang tidak dapat dinikahi tidak boleh dilamar. Larangan ini dapat bersifat permanen atau sementara, tergantung pada hubungan mahram yang ada. Larangan permanen disebabkan oleh hubungan mahram muabbad, seperti hubungan antara seorang laki-laki dan saudara perempuannya. Sementara larangan sementara, antara lain, disebabkan oleh hubungan mahram muaqqat, seperti hubungan antara adik ipar dan perempuan yang masih menjadi istri orang lain.

Hikmah di balik larangan melamar atau menikahi perempuan yang berstatus mahram, baik muabbad maupun muaqqat, serta larangan melamar perempuan yang masih dalam masa iddah atau perempuan yang sudah dilamar orang lain, adalah untuk mencegah potensi timbulnya kekacauan dalam garis keturunan, perselisihan, dan konflik sosial lainnya (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid IX, halaman 6497).

Salah satu larangan sementara adalah melamar perempuan yang sedang menjalani masa iddah dari suami sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa khitbah dengan ungkapan sharih (jelas) kepada perempuan yang sedang menjalani masa iddah hukumnya haram, baik itu iddah wafat, iddah talak raj‘i, atau iddah talak bain, berdasarkan firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 234.

Ungkapan sharih adalah ungkapan yang jelas dan terang-terangan menyatakan keinginan menikah, seperti “Aku ingin menikahimu,” atau “Jika masa iddahmu habis, aku ingin menikahimu.” Alasan di balik larangan ini adalah untuk mencegah kemungkinan si perempuan berbohong tentang berakhirnya masa iddah, serta untuk menghindari pelanggaran hak dari laki-laki yang menalaknya. Namun, larangan melamar perempuan beriddah dengan ungkapan sharih tidak berlaku jika perempuan tersebut beriddah dari cerai wafat atau iddah dari talak tiga (bain kubra). Dalam hal ini, boleh melakukan khitbah dengan ungkapan sharih, namun tidak boleh membuat perjanjian nikah, sesuai dengan kesepakatan ulama yang bersumber dari Surah Al-Baqarah ayat 235.

Penting untuk diingat bahwa etika Islam mendorong umatnya untuk menjauhi segala syubuhat atau keragu-raguan, menempuh jalan musyawarah, mencari kemaslahatan, dan menjaga hubungan baik antara sesama manusia. Dalam hal pernikahan, hal ini dapat dilakukan dengan menghindari perselisihan, menjauhi syubhat, dan mencari kemaslahatan bersama. Dengan demikian, larangan dan aturan dalam melamar perempuan diatur dengan tujuan untuk memelihara tatanan sosial dan keharmonisan hubungan antarindividu. Wallahu a’lam.

Artikel ini telah dibaca 8 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Jejak Keagungan dan Kebijaksanaan Wanita yang Diabadikan Kitab Suci

5 Oktober 2024 - 06:32 WIB

Pesantren Menghadapi Pilkada dan Politik: Antara Netralitas dan Partisipasi

30 September 2024 - 05:29 WIB

Peran Guru Ngaji di Madura

29 September 2024 - 23:30 WIB

Santri dan Demokrasi: Peran Pesantren dalam Membangun Bangsa

29 September 2024 - 23:03 WIB

Ciri Khas Pesantren Madura: Menggali Tradisi, Pendidikan, dan Nilai Lokal

29 September 2024 - 21:10 WIB

Ekologi Pesantren: Mengintegrasikan Kehidupan Spiritual dan Lingkungan

29 September 2024 - 20:36 WIB

Trending di Suara Santri