Oleh: Abdul Warits*
Pesantren merupakan salah satu institusi pendidikan yang melahirkan banyak sekali pemimpin politik di negara Indonesia. Tidak hanya berhenti sampai di situ, peran pesantren dalam mempengaruhi kebijakan politik di negara Indonesia patut diperhatikan. Hal ini karena para tokoh dan kiai pesantren telah meneladankan untuk menjaga bangsa Indonesia bahkan sejak awal terlibat di dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia sehingga masyarakat hidup rukun, aman dan tentram.
Lalu, akan muncul pertanyaan di benak kita semua. Dari manakah pendidikan politik santri diajarkan padahal pesantren secara kurikulum dan pengajaran tidak pernah mengajarkan kepada santrinya tentang politik?. Kendati begitu, secara tidak sadar sebenarnya pendidikan politik adalah salah satu ragam pendidikan yang dibangun, dan ditumbuhkembangkan di pondok pesantren.
Salah satu keunikan pendidikan politik di pesantren adalah dengan cara, dan metode yang tidak didesain, apalagi dipersiapkan secara baik. Bahkan, sang empunya—kiai, ustad, dan pengurus—tidak sadar jika telah mengajarkan nilai-nilai pendidikan politik di pesantren. Tetapi di pondok pesantren aktivitas yang mengarah pada pendidikan dasar-dasar politik seperti kebebasan menyampaikan pendapat, menghargai perbedaan, toleransi, dan budaya telah terpraktikkan di pesantren.
Setidaknya ada lima aktifitas di pondok pesantren yang mengkondisikan para santri memahami nilai-nilai politik, yakni: 1) forum diskusi (musyawarah) kitab; 2) kajian al-Fiqh ‘alāal[1]Madhāhib al-Arba’ah; 3) forum khiṭābiyah (pidato dan orasi); 4) praktik budaya demokrasi; 5) kajian bath al-masāil.
Diskusi (musyawarah) kitab kuning menjadi momentum bagi santri dalam mengaktualisasikan diri mereka. Pendidikan politik pun acapkali mengalir begitu saja secara alami. Bahkan, terkadang para santri tidak menyadari jika diri mereka tengah mendapatkan, dan mempratikkan politik itu sendiri.
Topik diskusi biasanya menyesuaikan konsensus peserta diskusi. Adakala mendiskusikan pokok-pokok pengajaran yang sulit. Adakala juga mendiskusikan tema-tema aktual. Sebut saja masalah hak, dan kewajiban warga terhadap negara, relasi agama, dan negara, masalah kepemimpinan, dan lain sebagainya.
Forum khithābiyah –dalam dunia sekolah dikenal dengan sebutan orasi ilmiah– merupakan ajang kontestasi akademik para santri untuk berproses menjadi (learning tobe), serta menggelar ilmu yang mereka peroleh. Lebih dari itu, tak sedikit materi orasi ilmiah (khithābiyah) mengkritisi persoalan kebijakan pemerintahan, dan perpolitikan tanah air. Di area inilah para santri mendapatkan pendidikan politik secara alamiah, tanpa didesain, maupun diprogram terlebih dahulu.Tak ayal, tatkala para santri kembali ke kampung halaman mereka masing-masing tidak sedikit diantara mereka yang terlibat ke dalam politik praktis, baik berkecimpung di partai politik Islam, maupun partai politik non Islam.
Pendidikan politik yang didapatkan para santri dalam kajian bath al-masāil sangat beragam, dan sarat dengan makna. Hal ini dikarenakan di setiap pokok bahasan bath al-masāil berbasis pada persoalan sosial kemasyarakatan. Persoalan kebangsaan, bela negara, dan politik nasional merupakan deret persoalan yang acapkali dicarikan solusi dalam kajian bath al-masāil. Poin terpenting yang harus dipahami adalah bahwa melalui kajian bath al-masāil segenap civitas akademika pondok pesantren—kiai, keluarga kiai, pengelola, pengurus, ustad, abdi dalem, dan santri—dapat belajar, dan memahami persoalan politik secara mendalam.
Selain itu, kajian bath al-masāil pada persoalan politik juga memantik sense of politic, sekaligus penyadaran politik bagi para santri di pondok pesantren. Lebih dari itu, keikutsertaan, dan keaktifan sivitas pondok pesantren dalam mengikuti pelbagai pembahasan bath al-masāil khususnya dalam topik-topik politik dapat mengkondisikan diri mereka secara unconsciousness pada ranah politik.
Dikemudian hari, mereka tidak lagi alergi dengan praktik-praktik politik didunia nyata (di masyarakat), bahkan menjadikan politik sebagai bagian dari alat dakwah mereka. Sehingga perbedaan pandangan politik di kalangan masyarakat disikapi oleh santri dengan lapang dada tanpa harus memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.