Oleh : Abdul Warits*
Pagi mengumbar. Dingin menusuk ke ulu hati menggertakan gigi. Perempuan dengan penuh semangat yang menggelora itu berangkat dari rumahku menjajakan rempah-rempah yang sudah dipilah dan dipilih sejak dari tadi malam. Ia menjajakan dagangan rempah-rempahnya ke sekolah-sekolah yang ada di Surabaya, termasuk juga ke sekolahku.
Perempuan itu adalah ibuku sendiri. Setiap hari ia menjajakan dagangan rempah-rempahnya ke berbagai tempat yang ada di ibu kota ini: Bandara, Pelabuhan Tanjung Perak, terminal dan tempat umum lainnya. Aku sering berjumpa dengannya ketika menjajakan di sekolahku untuk para guru yang ada di kantor.
“Rempah pak, mau beli rempah?”ibuku menjajakan rempah tradisionalnya ke guru-guru yang ada di Kantor.
“Mana ada orang sekarang mau beli rempah, bu,” jawab salah satu guru dengan nada meninggi.
“Rempah itu sudah jadul, bu,” ketus yang lain.
“Kalau mau jual rempah jangan ke sekolah, di sini bukan tempat orang meracik makanan, kalau mau jual rempah ke warung makanan saja,” guru yang lain juga meledek.
Ibuku menahan amarahnya. Ia hanya bisa mengelus dadanya. Tetapi, kulihat wajah Ibu tetap tersenyum. Karena bagi dirinya tidak penting apa profesinya. Yang terpenting adalah ibu bisa kembali meneruskan perjuangan para leluhur bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Tidak jarang, ia seringkali berwasiat kepadaku saat sedang bincang-bincang santai di kantin sekolah.
“Meskipun kau nanti menjadi orang yang pintar, jangan sekali-kali kau melupakan sejarah rempah. Kau harus menjadi seorang pejuang rempah bagi bangsamu sendiri,” begitulah nasehat ibu yang selalu terdengar mengiang di telingaku.
Sejenak aku berpikir mereka yang mencaci maki ibuku sebagai seorang pedagang rempah barangkali tidak mengetahui tentang sejarah rempah di negeri ini. Aku beruntung memiliki ibuku karena ibu telah menjadi guru sejarah yang baik meski ia tidak mengajar di sekolah-sekolah menjadi seorang guru dan digaji.
***
Ibuku memiliki toko rempah-rempah yang ada di Pelabuhan Perak Surabaya. Selain menjajakan ke berbagai tempat yang ada di sudut kota Surabaya, setiap sore ibu pasti pulang ke tokonya. Kadang aku juga ikut membantu menjaga toko itu, melayani para pembeli yang datang dari luar kota bahkan ada yang dari luar negeri.
Ibuku selalu bilang meski hasil dagangan rempah-rempahnya sedikit tetapi ia selalu mengajariku untuk bersyukur karena berdagang rempah merupakan jihad untuk mempertahankan kekayaan negeri ini. Aku belajar banyak tentang perekomonian kepada ibuku sendiri. Bahkan, ketika aku membantu menjaga tokonya ia seringkali bercerita jika Pelabuhan Tanjung perak menjadi salah satu pusat perdagangan rempah-rempah pada zaman dahulu.
“Kakek dan nenek moyangmu dulu berdagang rempah, bahkan rempah-rempah ini diperebutkan oleh Belanda dan Jepang,” katanya sambil melayani pembeli di depan toko.
Ibu sangat peduli padaku. Setiap kali aku membantu menjaga tokonya pasti ia membuat masakan yang di dalamnya terbuat dari rempah-rempah. Bahkan, suatu ketika ibu meracik jamu untuk kuminum. Jamu itu berasal dari rempah-rempah yang diperdagangkan oleh Ibu. Semangatnya menggelora. Dalam jiwanya, seakan-akan rempah sudah menjadi darah daging yang harus tetap dirawat dengan baik.
“Ini diracik dari ramuan rempah-rempah yang ada di Indonesia,” kata Ibuku sambil menyodorkan secangkir jamu kepadaku.
“Aku kan masih kecil, bu. Masak juga harus minum jamu?” aku protes karena setahuku anak kecil tidak boleh meminum jamu.
“Untuk menjadi anak bangsa yang baik kamu harus berbekal rempah-rempah,” nasehatnya sambil mengurai cerita rempah di zaman colonial.
“Mengapa kamu berkata seperti itu?” tanyanya penasaran.
“Nusantara dilirik oleh negeri asing karena rempahnya,” tegasnya.
Aku banyak belajar sejarah dari Ibuku yang menjadi pedagang rempah. Aku tidak pernah mendapatkan pelajaran sejarah sedetail ini selain dari ibuku sendiri. Aku sadar jika banyak guru-guru di sekolah yang lupa akan sejarah bangsa sendiri, terutama tentang rempah-rempah. Aku bangga belajar pada pedagang rempah seperti ibuku.
***
Semenjak ditinggal ayah, ibu memang berjuang sendirian. Hampir setiap hari ia selalu menjajakan rempah-rempahnya. Ibuku terkuras tenaganya. Ia sudah sering sakit-sakitan hingga aku harus menjaganya ke rumah sakit. Jika sudah menjaga ibu di rumah sakit, pasti aku tidak bisa masuk sekolah. Karena di keluargaku hanya tinggal aku dan ibu yang kini tetap berjuang berdagang rempah-rempah. Keluargaku yang lain kerja di kantoran dan lebih mapan.
“Mengapa kamu sering tidak masuk sekolah, Ibel?” Tanya seorang guru saat aku masuk sekolah.
“Anuh, pak,” jawabku. Kikuk. Aku ingat pesan ibu bahwa seorang perempuan harus pintar menyembunyikan masalahnya kepada orang lain. Sehingga aku tidak berani mengatakan yang sebenarnya kepada guruku.
“Alasan kamu!” gertak guru sejarahku.
Aku hanya diam. Kata Ibuku seorang murid yang dimarahi oleh gurunya tidak boleh membantah. Bagaimanapun keadaannya.
Selepas pulang dari sekolah, aku pulang ke toko rempah rempah warisan ibuku di pelabuhan perak Surabaya. Ibuku sudah meninggal sejak satu bulan yang lalu dan aku harus menjaga toko ini setiap pulang sekolah hingga menjelang sore.
“Mau beli rempah-rempah, dek?” Kudengar suara pembeli di depan warung. Aku menoleh.
“Kok, kamu jualan rempah-rempah, Ibel,?” Tanya pak Masykur guru sejarahku. Matanya berlinang air mata.
“Maafkan Bapak, ya. Nak, dulu bapak telah melecehkan ibumu sebagai pedagang rempah-rempah,” nadanya sesenggukan sambil menatapku dengan penuh Iba.