Oleh : Abdul Warits*
Film dokumenter Pesantren yang didistribusikan oleh Lola Amaria Production sudah ditayangkan di jaringan bioskop XXI pada 4 Agustus 2022 kemarin. Film ini mengisahkan kehidupan para santri di pesantren melalui kisah dua santri dan guru muda di Pondok Kebon Jambu Al Islamy, Cirebon. Film ini menunjukkan satu eksistensi Pesantren yang menunjukkan bagaimana para santri tidak terkukung aturan ketat. Ha ini juga ingin menyampaikan pesan secara tersirat bahwa pesantren juga dikenal di masyarakat dengan menampilkan sisi kesenian dan kemajuan perkembangan zaman melalui produksi film.
Penayangan film ini diharapkan bisa mengurangi stigma pesantren adalah pusat tumbuh kembangnya radikalisme. Sutradara Salahuddin Siregar mengatakan keinginan untuk membuat film dokumenter berdurasi dua jam adalah jawaban atas kekhawatian stigma tersebut. Lola memberikan alasannya untuk mendistribusikan film yang dibuat pada 2015 itu secara komersial. Menurut aktris film tersebut, Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, memiliki 25 ribu pesantren. Potensi ini merupakan peluang bagaimana keterlibatan pesantren dalam menyampaikan narasi dalam menangkal radikalisme dan terorisme apalagi dunia film sangat digemari oleh beberapa kalangan santri di pesantren sebagai bentuk hiburan dari kejenuhan selama belajar di pesantren. Urgensi dalam produksi ini tentu sangat mudah menyampaikan pesan perdamaian dan toleransi di kalangan santri sehinga menjadi doktrin yang terus membumi di dada mereka.
Lola, selaku aktris film ini mengatakan bahwa isu yang dibawa film Pesantren sangat penting untuk Indonesia saat ini. Karena itulah, ia mendistribusikan film ini di jaringan bioskop komersil. Film Pesantren adalah usaha untuk mencari tahu tentang bagaimana kehidupan para santri di pesantren melalui kisah dua santri dan guru muda di Pondok Kebon Jambu Al-Islamy, sebuah pesantren terbesar dengan 2.000 santri di Cirebon, Jawa Barat. Pondok pesantren ini adalah pesantren tradisional pada umumnya, tetapi istimewa karena dipimpin oleh perempuan. Maka, film ini akan sangat berpeluang jika ditayangkan di pesantren yang notebene dihuni oleh perempuan. Karena sebagian dari pesantren akses dalam dunia internet memang dibatas di dunia pesantren. Karena, produksi film tentang intoleransi dan anti radikalisme ini penting dibumikan di tengah-tengah kesibukan santri belajar di pesantren.
Lola Amaria bersama Yayasan Bumi Kaya Lestari dan Shalahuddin Siregar sebagai sutradara film ini membawanya ke dalam pondok pesantren. Salah satunya alasannya adalah bahwa Indonesia memiliki lebih dari 25 ribu pondok pesantren dan lebih dari empat juta santri. Pemutaran Film Pesantren di 10 pesantren di Pulau Jawa ini sebenarnya untuk mengedukasi kehidupan anak-anak pesantren yang begitu fokus menggali ilmu. Di pesantren yang sebenarnya digambarkan kehidupan yang harmonis, beragama dengan santai, berbeda pandangan disikapi dengan biasa saja dan tinggi akan toleransi. Tidak ada ribut-ribut. Tidak tanggung-tanggung bahkan Film Pesantren yang awalnya dirilis pada tahun 2019 telah dipertontonkan secara langsung di Amsterdam, Belanda dalam ajang International Documentary Festival Amsterdam. Kemudian pada tahun 2020 tidak berhasil dirilis karena adanya pandemi.
Pesantren sebagai tempat untuk belajar yang sangat menghargai perbedaan tanpa ada keributan memang layak menjadi inkubator dalam menanamkan nilai-nilai perdamaian melalui film. Toleransi yang tinggi antara satu dengan lainnya. Apalagi setelah nonton film ini akan diadakan diskusi dalam setiap nonton bareng yang dilakukan. Tentu hal ini sangat menarik.
Selain itu, salah satu alasan dari Shalahuddin Siregar selaku sutradara dan produser film ini mengatakan bahwa dirinya membuat film tersebut karena terganggu dengan stigma negatif yang diberikan pada pesantren sebagai tempat yang kolot dan tidak berkembang, bahkan tempat teroris diajarkan. Dia membuat film ini untuk publik agar mengenal lebih dalam mengenai kehidupan di dalam Pesantren berjalan sehari-hari.
Shalahuddin Siregar mengatakan bahwa distribusi dari film ini tidak hanya dijadikan sebagai meraup keuntungan tiket. Karena menurutnya ada nilai lebih yang harus disajikan dalam film sebagai dakwah di tengah-tengah masyarakat santri. “Saya tidak berharap tentang pendapatan dari penjualan tiket, tapi barokahnya. meski sedikit yang nonton tapi kalau berdampak besar, itu barokah,”. Inilah salah satu alasan mendasar bagaimana memproduksi film tentang pesantren sebagai sarana dakwah.
Film ini bahkan sudah ditonton oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar mengaku sangat terkesan, sekaligus terharu setelah menyaksikan gala premiere film Pesantren. Bahkan dirinya mengaku kembali terkenang saat-saat ia kecil dahulu, di mana ia juga menimba ilmu di lingkungan pesantren. “Saya benar-benar terharu dan sekaligus bangga saat menyaksikan film Pesantren ini. Filmnya orisinil, asli, dan lingkungan pesantren ternyata tak pernah berubah, sama seperti saya masih kecil dahulu. Dan yang pasti filmnya ini banyak menyuguhkan pesan-pesan, ajaran-ajaran, dan kajian-kajian yang menarik, dan Insyaallah bisa membuka mata dunia, bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang baik, dan bukan sebagai sarang terorisme dan sumber radikalisme,”. Tentu ungkapan ini mengandung satu kenangan terindah bagaimana pesantren senyatanya bukanlah sarang dari terorisme dan radikalisme.