Oleh; Moh Syaiful Bahri
Dalam ranah sosial, misalnya, kebesaran nama seorang tokoh adakalanya terbatas hanya pada golongan tertentu saja, dan ada pula yang melampaui satu golongan — lintas golongan.
Satu hal yang paling penting adalah mereka besar karena kontribusi, kiprah dan pengabdiannya dalam berbagai bidang tertentu (hlm. 7).
Hadirnya buku ini bukan seperti buah apel yang jatuh tiba-tiba dari langit. Tetapi akumulasi cerita-cerita dari beberapa tokoh bahkan sebuah kenyataan yang terdapat dalam masyarakat, dan cerita turun-temurun yang sudah menjadi keyakinan dan kepercayaan dalam masyarakat kita.
Dalam hal ini, penulis mencoba memaparkan sebuah fakta mengenai pemikiran, gerakan, dan pengabdian tokoh terutama sosok kiai yang ditulis dalam buku ini.
Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia 2 merupakan kelanjutkan dari buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia 1 yang ditulis oleh A. Aziz Masyhuri, setidaknya dari segi umur cukup berbeda.
Buku jilid kedua ini bagian dari keberlanjutan gagasan, pemikiran, gerakan dan perjuangan barangkali dari kiai-kiai senior sebelumnya. Sebut saja nama-nama KH. Tamim Irsyad, KH. Kholil, KH. Romli Kholil, KH. Romli Tamim, KH. Mushlih al- Maraqi, KH. Imam Zarkasyi, KH. Abdul Hamid Pasuruan, KH. Mahrus Aly, KH. Ali Ma’shum, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Nawawi Nurhasani, KH. Ihsan Jampes, KH. Jazuli Utsman, KH. Muhammad Nawawi, KH. Achmad Siddiq, KH. Turaichan, KH. Anwar Musaddad, dan KH. Muhammad Dimyathi.
Kiai-kiai di atas adalah bagian penting dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Seperti kiai Pesantren Paterongan, Rejoso, Jombang yang melahirkan kiai-kiai khas di Jawa Timur dan menjadi basis gerakan tarekat.
Pesantren Rejoso pada awalnya sebuah mushala dan jamaah tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah yang dipimpin oleh KH. Kholil, murid KH. Asy’ari (ayah KH. Hasyim Asy’ari) (hlm. 20).
Pesantren menjadi rumah menuntut ilmu dan belajar mandiri, kreatif dan tentu sebagai basis dari lahirnya gerakan perjuangan kemerdekaan. Kehadiran KH. Mushlih al-Maraqi di pentas keilmuan pesantren tidak diragukan lagi.
Ia belajar langsung kepada orang tuanya, KH. Abdurrahman bin Qasid al-Haq. Lalu tidak puas dengan ilmu yang sudah didapatkan di pesantren ayahnya, KH. Mushlih memperluas cakrawala ilmu agama dengan berkelana ke banyak kiai dan pesantren di luar Mranggen. Nyantri pada KH. Zubair dan Syaikh Imam di Sarang, di samping juga menjadi santri kalong KH. Ma’shum Lasem. Bahkan sampai pula belajar di Termas pada KH. Dimyathi (49-41). Aktivitas belajar semacam inilah yang masih terus dirawat orang-orang pesantren dari dulu sampai sekarang.
KH. Ma’shum Ali Krapyak beranggapan bahwa prinsip jaminan keamanan merupakan inti dari aspirasi politik Islam (hlm. 106). Hal ini terimplementasi pada Piagam Jakarta dan UUD 1945 maupun asa tunggal Pancasila yang tidak ditolak umat Islam, khususnya kalangan NU waktu itu.
Kiprah dan perjuangan KH. Ali Ma’shum dalam ranah sosial keagamaan tidak bisa diragukan lagi. Bahkan kesadaran bernegara dan berpolitik, KH. Ali Ma’shum sering mengutip tulisan Imam al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam as Sulthaniyah dan Adab ad Dunya wa ad-Din, mengenai aspek yang menjadi dasar kemaslahatan, di antaranya; agama menjadi pedoman; penguasa yang berwibawa; keadilan yang merata; keamanan semesta; kemakmuran sandang pangan; dan harapan masa depan dan cita-cita tinggi.
Semasa dengan KH. Ali Ma’shum, ada sosok kiai kharismatik asal Madura, KH. As’ad Syamsul Arifin (santri Mbah Khalil Bangkalan) yang juga termasuk saksi sejarah berdirinya NU. Kewibawaan KH. As’ad tidak hanya terbatas bagi para santri, tetapi merabah pada kalangan masyarakat luas, terutama di Jawa Timur dan Madura (hlm. 127).
Sebagaimana KH. As’ad, KH.Nawawi Nurhasan juga murid dari Mbah Khalil, bicara Pesantren Sidogiri hari ini tidak boleh menutup mata pada sosok KH. Nawawi Nurhasan. Pesantren yang cukup dikenal kenal keilmuan dan pengamalan fiqh sekaligus tsawuf ini, juga dikenal istiqamah dalam beribadah dan khumul (hlm. 148).
Kisah dan perjuangan kiai-kiai pesantren yang ditulis A. Aziz Masyhuri perlu dibaca oleh kalangan santri. Yang mana hadirnya buku ini menjadi salah satu dari sekian literatur yang mencoba memotret tentang tokoh dari pesantren yang cukup kompleks. Pesantren yang selama ini dikenal sebagai kaum sarungan, tradisionalis, dan tentu berada di pojok-pojok pedesaan berani tampil ke panggung nasional menjadi garda terdepan memperjuangkan tegaknya nilai-nilai agama dan keindonesiaan.