Oleh; Moh Syaiful Bahri
Pemilu 2024 sudah diujung tanduk. Artinya ruang virtual kita akan penuh dengan sampah kampanye politik sana-sini. Bukan hanya di pinggir jalan ada baliho calon partai A, B dan C yang senyumnya semanis madu. Berita-berita politik dimainkan sedemikian rupa.
Secara umum, konten dan narasi yang disebar oleh masing-masing timses dan parpol mencitrakan keunggulan, prestasi sampai pada keberpihakan pada rakyat.
Ada banyak lembaga dan peneliti yang menyebut bahwa Pemilu 2024 tidak jauh berbeda dengan suasana Pemilu 2019. Sebagaimana dikatakan mantan peneliti senior Wahid Institute bahwa perdebatan di media sosial cukup mengkhawatirkan, karena sering menyinggung masalah identitas agama. Dilansir dari NU Online, Senin (15/5/2023).
Ketika Pemilu diawali dengan isu-isu polarisasi agama, tidak menutup kemungkinan masyarakat atau pendukung calon tertentu saling sikut satu dengan lainnya.
Lebih jauh, apa yang disampaikan Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf perlu dipertimbangkan. Ia menyebut kandidat yang bertarung di Pemilu 2024 haruslah berfokus pada mengusung agenda kebangsaan, bukan politik pecah belah.
Hal ini juga didukung oleh Haedar Nashir yang mendorong visi kebangsaan lebih banyak dielaborasi di ruang publik. Nilai-nilai kebangsaan urgent untuk dijadikan sebagai pondasi dari politik praktis saat ini.
Ruang-ruang digital pun sama. Artinya cukup tipis perbedaan hidup di ruang digital dan dunia nyata. Oleh karenanya, apa yang tampak di ruang media sosial adalah representasi dari dunia riil.
Untuk itu, sebagai alat perlawanan terhadap kelompok keagamaan yang tidak memiliki pandangan yang sama dan cenderung menyalahkan pihak lain. Sehingga tidka menutup kemugnkinan ada ada konten di media sosial yang menyudutkan pihak yang berbeda keyakinan dan pilihan politik.
Heidi Campbell pernah menegaskan bahwa pergaulan dnegan organisasi keagamaan, bergesernya kegamaan, menguatnya individualism dan peralihan dari pluralism ke tribalisme adalah bagian dari dampak era virtual yang paling terasa terhadap praktik keagamaan masyarakat (Heidi Campbell, 2010).
Ranah digital menjadi salah satu alternatif atau platform ideal mempromosikan modoerasi beragama. Venus dalam Manajemen Kampanye: Panduan Teoritis dan Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi (2022) faktor-faktor kampanye moderasi beragama di media sosial:
Pertama, The Intended Effect. Narasi yang ditampilkan berupa kampanye yang sudah dipahami sebelum tayang untuk memungkinkan pencapaian yang terperinci dan patut diperhatikan.
Kedua, Competing Communication, komunikasi yang bersifat bersaing. Tidak menyudutkan pihak lain, apalagi menjatuhkan demi elektabilitas pihak sendiri. Di sinilah kampanye dengan pola yang benar sangat diperlukan.
Ketiga, The Communication Objective, penetapan tujuan jangka panjang, bukan hanya terpaku pada waktu sempit dan jangka pendek.
Keempat, Target Population and Target Recipient Group, kelompok yang menjadi sasaran kampanye perlu dilayani semaksimal mungkin dan terarah. Untuk itu perlu perencanaan program yang baik pula.
Kelima, The Cannel, saluran komunikasi perlu menjadi pertimbangan, tidak boleh terputus-putus apalagi tidak sampai pada penerima. Komunikasi yang digunakan terkait dengan pesan dan kehidupan sehari-hari si penerima kampanye.
Keenam, the Messege, pesan atau konten dalam kampanye harus menyajikan pesan-pesan edukatif, informatif, fan mempengaruhi perilaku sasaran.
Dari keenam faktor di atas, saya kira konten kampanye terutama di media sosial menjadi sesuatu yang paling penting dipahami dan disadari sebagai modal kontestan menuju Pemilu 2024.
Untuk itu, siapapun dan dari pihak manapun sebenarnya bisa menjadi agen dan actor yang mempromosikan moderasi beragama di ruang virtual. Tidak ada batasan apapun selagi mempunyai keinginan untuk menjaga dan merawat persatuan dan kesatuan kita sebagai anak bangsa.
Di sinilah saya kira konsep wasathiyah atau moderasi menemukan ruang. Oleh karenanya ada dua hal penting yang mesti dipertimbangkan sebagai strategi kampanye moderasi di dunia virtual.
Pertama, menghadirkan Islam sebagai agama yang humanis. Prinsip humanis mengandung banyak tujuan etis dan sosial. Gagasan humanis tidak hanya menyinggung bahwa nilai-nilai yang diterima sebagai wahyu dipahami sebagai misi untuk umat manusia. Setiap agama memiliki konsep dan nilai sendiri memaknai humanisme. Islam hadir untuk menjadi jembatan merawat kebhinekaan dalam kehidupan masyarakat majemuk.
Kedua, revitalisasi Islam Kaffah. Mempromosikan Islam yang menyeluruh perlu menggunakan Bahasa yang moderat. Pendekatan moderat sebenarnya berupaya memahami Islam dari berbagai perspektif, bukan berpusat pada satu pemahaman.
Maka, sebagai kampanye moderasi beragama di ruang-ruang digital menjelang Pemilu 2024, diperlukan hadirnya kiai, gus, ustaz, dan tokoh agama dan masyarakat yang memberikan nasfas terhadap keberagamaan dan kecintaan pada Indonesia.
Tanpa figur dan sosok yang memahami agama secara kaffah dan humanis, saya kira ruang digital sebagai dunia hari ini pelan-pelan akan menjadi neraka yang menakutkan; penuh caci maki, saling hantam sesama umat beragama dan yang tak kalah penting saling menjatuhkan demi Pemilu lima tahunan belaka.
*Peneliti ISAIs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta