Oleh: Sururi Nurullah
Manusia sebagai human society (makluk sosial) memang saling membutuhkan satu sama lain. Jadi tidak ada ceritanya kehidupan manusia, tidak membutuhkan sesamanya.
Berdiri dengan kesendirian agaknya hal mustahil bagi kehidupan manusia di dunia. Inilah perspektif usang bagi para kaum terdidik. Seakan-akan selalu dalam belenggu hidup haruslah bersama.
Layaknya kita ketahui bahwa pengetahuan dan didikan human society telah dimulai sejak seorang anak telah masuk dalam jenjang pendidikan formal. Sebagaimana dalam peraturan sekolah tentang penyeragaman siswa maupun siswi menjadi begitu ditekankan.
Hal tersebut berlandaskan suatu kesamarataan dikalangan siswa maupun siswi dalam strata kasta dan materi—harta. Jadi dengan peraturan itu, seakan semua sama , tiada yang rendah, unggul dan diunggulkan. Juga darinya ingin menimbulkan sebuah rasa persaudaran lebih lekat lagi diantara mereka.Menjalin hubungan persaudaraan tanpa malu atau segan satu sama lain (percaya diri).
Adanya penyeragaman tersebut tentunya juga untuk menguatkan identitas sekolah terhadap siswa dan siswinya. Menghujutkan rasa cinta serta kebanggan bersama. Maka darinya setiap lembaga pendidikan negri, khusunya swasta pasti memiliki cirikhas berbeda begitu tempak dari seragamnya. Pilihan warna juga disain menjadi yang utama. Seragam batik dan almamater jelasnya.
Bukan itu saja, dari saking terlihatnya corak seragam bagi siswa dan siswi, menjadikan dalam segi warna cirikhas akan tingkat jenjang pendidikannya, terlihat dari segi celana. Dalam sekolah negri biasanya celana merah perlambang tingkat SD, sedangkan celana dongker perlambang jenjang SMP dan celana abu-abu perlambang jenjang SMA. Kalau warna sekolah swasta lebih beragam lagi, namun dengan ketentuan disain lebih agamis dari seragam negri. Kalau jenjang PAUD dan TK apalagi, keberagaman dengan cirikhas warna seragamnya, seakan begitu ditonjolkan untuk menarik siswa-siswi dan kepercayaan diri bagi penggunanya. Dalam ketentuan perbedaan disain-nya, agaknya sama dengan negri dan swasta pula. Swasta lebih agamis.
Dari sana kemudian bisa diingat-ingat akan kehidupan menusia telah didekti oleh segenap guru didik sejak dini, menjadi human society paten. Namun, bisakah dalam kebersamaan dianggap amat urgen dalam kehidupan, tapi malah dalam jenjang pendidikan ada suatu apresiasi bagi siswa-siswi yang berprestasi dalam hal kecerdasan, keadaban, ketekunan. Baik disinilah kemudian adanya hal mengganjal bagi sebuah arti kehidupan manusia dengan kebersamaan itu sendiri.
Bisakah dipikir-pikir lagi akan kebersamaan memang begitu urgen, sebagaimana perspektif human society yang pelajari dan diterapkan dalam jenjang sekolah formal? Lalu bagaimana dengan sebuah apresiasi bagi siswa-siswi berprestasi, apakah masih ada nilai kebersamaan dan membutuhkan orang lain? Sedangkan bisakah kalian melihat ada salah satu keuntungan dan kerugian bagi orang lain diranah kebersamaan? Mari kita bahas bersama dari asal mula.
Kehidupan manusia yang dikatakan human society ialah karena adanya orang lain. Dalam konsep keberadaan orang lain, mungkin amat diamini, sebagai bentuk keberlansungan generasi hidup manusia didunia. Karena terciptanya Nabi Adam sebagai manusia pertama, amatlah kesepian sekali, maka diciptakanlah Sitti Hawa sebagai pendamping hidup sekaligus pelahir bagi para penerus dalam berbagai generasi. Dimana terciptanya Sitti Hawa sendiri ialah dari tulang rusuk Nabi Adam. Begitu sempurnanya Nabi Adam sebagai manusia pertama.
Maka bisakah kalian fikirkan jika Nabi Adam tetap tercipta dangan kesendirian, lalu bagaimana dengan generasi? Maka darinya kita tidak akan menyentuh pembahasan tentang human society diranah generasi. Tapi mari kita bahas human society dalam keberlansungan hidup manusia dari masa remaja 14,15 sampai 19 tahun. Kemandirian hidup amatlah ditekankan diusia tersebut, dengan kesadaran human society tidak terlalu diutamakan.
Sebab sebuah hidupan apabila telah mengetahui sesuatu dengan berfikir sediri dan mengejakannya sendiri, maka human society tidak akan terlalu diperlukan dalam kehidupanya. Meski diketahui segala sesuatu tidak akan cepat tercapai tanpa adanya orang lain. Akan tetapi pastinya, jika dikerjakan sendiri, akhirnya akan sampai juga. Selayaknya pembahasan tetang apresiasi sendiri, menjadi pembeda dari siswa bodoh dan berpretasi.
Jika seandainya kebersamaan adalah hal yang utama, mengapa siswa tidak dipandang sama pula dalam hal apresiasi. Sedangkan para guru didik tentu telah tahu betul bahwa setiap manusia punya keunggulannya masing-masing dan saling-mengisi satu sama lain. Seperti kata pintar saja , lahir dari kata bodoh.
Maka darinya begitu tampak jelas akan kebutuhan akan orang lain, selayaknya haruslah dibatasi, khususnya dari usia remaja, usia yang mampu perpikir sendiri dan melakukannya sendiri. Kemandirian lebih ditekankan lagi, karena sebenarnya hidup manusia adalah kesendirian bukan kebersamaan. Kebersamaa atau membutuhkan orang lain adalah salah satu keinginan manusia saja, untuk mencapi segala kebutuhanya dengan cepat dan istan, dimana tanpa disadarinya kalau itu bersifat ketergantungan, dimana bisa menjadikan manusia terbenggu akan diri sendiri dan akan perpikir untuk terus menempel terhadap orang lain atau dapat dikatakan isntan. Juga tentu ada keinginnan sama dengan orang lain dari segi hidup dan materi. Ketika itu timbul, maka manusia tidak bisa bereksplorasi dan berinovasi dengan baik sesuai dengan basic dirinya sendiri.
Coba lihat konsep keseragaman sebagai bentuk pandangan kesetaraan saja. Sedangkan suatu kebenaran mutaknya, setiap seragam itu pastilah berbeda. Konsep keseragamaan dalam jenjang pendidikan formal tidaklah relevan untuk terus dianamkan bagi anak usia dini dalam zaman ini. Nyata-nyatanya saja, seragam yang berwarna sama dan diasin sama, tapi tidak sama merek/kualitasnya. Ada yang lebih bagus dan yang lebih jelek.
Menjadikannya, tanpak sama, namun beda. Biasanya lebih putih jika baju putih, lebih merah jika celana wana merah. Rasa dari pakaian itu pun, bagus saat dipakai. Bisa juga lebih lembut atau lebih ringan. Betapa tertipunya diri kita sendari dulu.
Maka darainya individualisme harus lebih dipahami sebagai pedoman hidup masa kini. Human society lebih baik dikurangi saja. Sebab kebahagiaan dalam kebersamaan saja, tampaknya sama, tapi secara kadarnya sangatlah berbeda. Ada bahagia sekali da nada pula bahagianya sedikit. Apalagi dalam konsep agama, yakni “agamaku agamaku, agamamu agamamu.” Disanalah kemudian melepas suatu kesamaa atau disama-samakan hanyalah jalan hidup yang ambigu, tidak ada perubahan.
Jika ketika memahami sebuah mengurangi rasa Human society telah tercapai, pastinya kehidupan setiap manusia tidak akan terdekti oleh zaman, Sebagaimana guru mendekti manusia sejak dini. Manusia biasa hidup lebih bebas, lebih percaya diri dan pastinya tidak ketergantungan . Berbagai kehidupan pun tidak mudah di bodohi oleh orang lain.
*Santri Pondok Pesantren Annuqayah