Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan? Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Suara Santri · 28 Jul 2023 19:22 WIB ·

Pendidikan Ideal untuk Pemerintahan Masa Depan


 Pendidikan Ideal untuk Pemerintahan Masa Depan Perbesar

Oleh; Abdul Warits*

Film tentang Bumi Manusia yang dirilis dari inpirasi novelnya Pramodya Ananta Toer telah diluncurkan di bioskop-bioskop yang ada di seluruh Indonesia. Di dalamnya, diceritakan bagaimana perlawanan rakyat pribumi terhadap penjajahan yang sangat kejam. Meskipun, film tersebut mengundang kontrovesi dari berbagai kalangan karena ketidaksamaan dengan karya sastra aslinya,terutama dalam pergulatan identitas antara Eropa dan Jawa (pribumi).

Penjajahan adalah kejahatan paling kejam yang terjadi kepada kemanusiaan. Bangsa Indonesia telah lama  mengalami kekejaman itu sejak masa kolonialisme. Kerja paksa, penindasan dan beberapa penderitaan lainnya hanya menjadi kepiluan bagi masyarakat pribumi. Akan tetapi, hingga hari ini, penjajahan tentu akan terus berlangsung secara perlahan-lahan hanya saja konteksnya saja yang berbeda. Kalau pada masa lalu penjajahan lebih kepada raga maka hari ini penjajahan lebih kepada jiwa dan bahkan “penjajahan pemikiran” yang akan meracuni segenap elemen bangsa.

Ini tentu menjadi ironi tersendiri bagi masyarakat Indonesia dan perlu untuk waspada. Membangun jiwa masyarakat Indonesia dan para pemuda serta membuka kembali pengetahuan tentang sejarah bangsa Indonesia merupakan satu hal penting yang musti digerakkkan agar mereka tidak melupakan sejarah bangsanya sendiri atau bahkan bisa menjaga kemurnian sejarah bangsanya hingga masa depan bisa bersahaja. Karena tidak bisa dipungkiri, jika sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia sudah didistorsi maka masa depan bangsa ini akan semakin buram bagi anak cucu kita.

Buku Max Havelar ini merupakan bentuk lain perlawanan dan pemberontakan monumental terhadap kolonialisme yang ditulis oleh Eduward Douwes Dekker (1820-1887) yang mempunyai nama pena Multatuli. Douwes Dekker mengamati bagaimana sistem kerja tanam paksa yang menyebabkan ribuan masyarakat Pribumi kelaparan, miskin dan menderita. Mereka diperas oleh Kolonial Belanda dan pejabat pribumi korup yang sibuk memperkaya diri. Hasilnya, Belanda menerapkan politik etis dengan mendidik kaum pribumi  elit sebagai usaha “membayar”utang mereka kepada pribumi. Politik Belanda memang memanfaatkan pengaruh feodal kuno pengeran-pangeran, yang diasia pada umumnya sangat besar dan dipandang oleh sebagian besar suku sebagai bagian dari agama mereka.(hal. 81)

Buku ini bisa menghadirkan kritik kontruktif terhadap kebobrokan pemerintahan dan ketidakpedulian para pejabat terhadap masyarakat pribumi. Karenanya, yang perlu diwaspadai hingga hari ini bagaimana mengusahakan pemerintahan yang tegas dalam membela pribumi. Pemerintahan tidak lagi menjadi alat bagi kaum pemodal untuk semakin memeras kaum pribumi secara perlahan lahan dan bahkan hingga menjadi “budak” di tanah sendiri, terlebih di tanah Madura yang menyimpan sejuta pesona ini. Dalam buku tersebut ditulis, “sebagian besar dari kemiskinan itu adalah kesalahan mereka sendiri (hal. 32).

Oleh sebab itu, tidak heran jika Pramodya Ananta Toer memberikan komentar terhadap  buku ini sebagai “kisah yang membunuh kolonialisme”(New York Times, 1999). Mengapa Pramodya Ananta Toer berkomentar demikian? Karena buku ini ditulis oleh orang Belanda yang bekerja sebagai pegawai Hindia Belanda saat masih menjabat sebagai mantan Asisten Lebak, Banten pada abad ke-19. Sementara, hati nuraninya merasa terpanggil dengan sebuah ironi tentang peristiwa yang dilakukan oleh pemerintah Belanda apalagi pejabat Pribumi yang korupsi dan memeras harta rakyat dengan semena-mena.

Nada-nada kritik dan tegas dalam beberapa kalimat di buku ini menjadi cambuk yang akan melecutkan semangat membara untuk membenahi pemerintahan yang berada diambang kelaliman. Misalnya, di salah satu percakapan dalam buku ini,“aku tidak suka menuduh seseorang, siapapun itu. Tapi, jika memang harus Bupati akan sama saja dengan orang lain. Namun,syukurlah, di sini masih belum ada tuduhan ! besok, aku akan mengunjungi Bupati. Akan kutunjukkan kepadanya , betapa buruknya menyalahgunakan kekuasaan—terutama ketika menyangkut harta benda orang miskin. (hal. 176). Selain kalimat kritikan dalam percakapannya, buku ini juga menghadirkan surat Eduward Douwes Dekker kepada pemerintah saat itu seperti dalam salah satu kalimatnya,”bagi saya, setiap saat menjadi terlalu panjang jika ditandai dengan pemerasan dan penindasan (hal. 425).

Buku ini bertujuan sangat mulia sebagai penyadaran dan mengamati kekuasaan pada pemerintahan kita dengan seksama. Sebagaimana disampaikan diakhir buku ini oleh Multatuli,” aku tidak bermaksud untuk menulis dengan baik…aku ingin menulis agar didengar (hal. 462). Selain itu, buku ini juga menjadi refleksi bagi kalangan pemerintah agar terus membenahi, mendidik, menfasilitasi, mewadahi, dan memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat yang tertindas.

 

Judul                          : Max Havelaar

Penulis           : Multatuli

Penerbit         : Qanita

Cetakan          : 2018

Tebal              : 477 halaman

ISBN               : 978-602-1637-45-6

Peresensi       : Abdul Warits*

 

Artikel ini telah dibaca 5 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Jejak Keagungan dan Kebijaksanaan Wanita yang Diabadikan Kitab Suci

5 Oktober 2024 - 06:32 WIB

Pesantren Menghadapi Pilkada dan Politik: Antara Netralitas dan Partisipasi

30 September 2024 - 05:29 WIB

Peran Guru Ngaji di Madura

29 September 2024 - 23:30 WIB

Santri dan Demokrasi: Peran Pesantren dalam Membangun Bangsa

29 September 2024 - 23:03 WIB

Ciri Khas Pesantren Madura: Menggali Tradisi, Pendidikan, dan Nilai Lokal

29 September 2024 - 21:10 WIB

Ekologi Pesantren: Mengintegrasikan Kehidupan Spiritual dan Lingkungan

29 September 2024 - 20:36 WIB

Trending di Suara Santri