Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Suara Santri · 30 Jul 2023 14:29 WIB ·

Potret Pendidikan Anak-Anak Pedalaman Terabaikan


 Potret Pendidikan Anak-Anak Pedalaman Terabaikan Perbesar

Oleh : Abd. Warits*

 Mengajar adalah pekerjaan yang mulia. Sebab, dengan mengajar seseorang bisa membina, mendidik serta mentranformasikan ilmu yang telah diperolehnya kepada para peserta didik. Akan tetapi, untuk menjadi seorang pengajar apalagi pendidik yang ulung, seseorang harus mencicipi “pahit” dalam menghadapi perbedaan karakter dari masing-masing peserta didik. Untuk itulah, seseorang harus menempuh pengalaman mengajar dan mendidik yang baik. Sebab, secara esensinya, mengajar juga butuh proses belajar dari pengalaman panjang sehingga pengalaman akan menjadi guru terbaik dalam menghadapi permasalahan pada peserta didiknya.

Buku “Belajar Mengajar” ini adalah catatan perjalanan, budaya, dan pendidikan Papua yang dilakukan oleh enam orang mahasiswa pecinta alam (Mapala) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) tentang kondisi pendidikan anak-anak pedalaman yang ada di Kwatisore, Papua. Mereka adalah Freggiyanto Banyu satria, Isna Alfiyah, Mhd. Zaki Al-Fandi, Novi Handoko, Sevi Dwi Nugraheni, Yosi Sugito. Mereka datang ke Papua untuk melaksanakan sebuah kegiatan yang bertajuk “Ekpedisi Dharma UNY Nusantara”.

Kegiatan pendidikan ini didasari oleh keprihatinan mereka terhadap kondisi pendidikan di Kwatisore, Papua dalam segala aspeknya mulai dari fasilitas, media pembelajaran, guru, hingga murid, baik di SD maupun SMP. Minimnya guru yang ada dan mengajar disana menjadi kendala yang besar dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Selain itu, kondisi murid juga menjadi persoalan karena mereka menemukan beberapa anak kelas 4-6 yang belum lancar membaca. Minimnya fasilitas dalan kegiatan belajar mengajar menjadi kendala tambahan bagi sekolah di Kwatisore ini. (hal. 06)

Buku ini dibagi menjadi empat sub-bab pembahasan. Pertama, tentang Kwatisore dalam segala keindahan alam serta tradisi masyarakat disana. Masyarakat kwatisore yang hidup sederhana dari alam yang ada disekitarnya menjadi seorang yang berprofesi sebagai nelayan, pemburu, perkebunan, pengrajin souvenir, hingga sebuah kebiasaan seperti molo (menangkap ikan dengan menyelam dan menembaknya), mengunyah pinang, dan seni musik beserta tarian yang diiringi dengan alat khas tifa. Tifa adalah alat musik pukul yang menyerupai gendang tetapi memiliki bentuk lebih ramping dan panjang. Hal ini mendapat legitimasi dari MHD. Zaki Al-fandi,” saya gembira berada disini, tempat dimana masyarakatnya mudah untuk melakukan dan mengekpresikan kegembiraan. Masyarakat kampung yang selalu ceria dengan segala hal. Mereka yang tidak menampakkan kesedihan dan keresahan akan hidup dalam keseharian mereka” (hal. 60).

Kedua, enam mahasiswa tersebut berusaha untuk memahami sosok pelosok yang menjadi pahlawan sederhana, laki-laki yang kekar, dan lain sebagainya. Ketiga, berkaitan dengan pengalaman belajar mengajar enam mahasiswa UNY selama berada di Papua. Seperti seringkali kita dengar bahwa ungkapan guru adalah orang yang digugu dan ditiru menjadi sesuatu yang mengakar di Papua. Pekerjaan menjadi guru menjadi sebuah profesi yang patut dibanggakan. Sebab, selain sebagai orang tua kedua bagi anak, juga menjadi agen bagi perubahan bangsa. Seperti yang ditulis oleh Yosi Sugito,”disini panggilan pak guru benar-benar melekat pada kami walaupun tidak sedang mengenakan seragam.  Siswa, orang tua, dan masyarakat pun memanggil kami “pak guru” saat berinteraksi sehari-hari. Dengan panggilan itu, kami disambut dan diterima secara hangat disini. Namun, disisi lain, hal tersebut sebenarnya memaksa kami untuk berhati-hati dalam berprilaku dan bertindak. Karena di sini peran guru melekat mulai kami bangun hingga tidur lagi. Saat kami memasak di posko kami juga guru, saat kami mencuci baju kami juga guru,  saat kami mencari ikan dengan siswa kami juga guru. Kami bangga sekaligus tertantang  saat dipanggil bapak/ibu guru”. (hal.103)

Novi Handoko juga memberikan testimoni bahwa menjadi seorang guru harus memendam dendam kepada anak didiknya, “mental yang baik dan kreatifitas yang bagus mungkin ini adalah kunci sukses menjadi seorang guru di daerah terluar, terpencil, dan terdepan. Sebab tanpa itu bisa saja seorang guru tidak akan sanggup menghadapi para siswa yang memiliki karakter yang berbeda dari biasanya. Bisa saja seorang guru akan pusing sendiri bagaimana cara menyampaikan pelajaran agar materi dapat tersampaikan dan diterima oleh siswa”. (hal.110)

Selain itu, hal yang perlu diperhatikan oleh sekolah adalah bagaimana bisa mengkolaborasikan antara ilmu sekolah dan ilmu lokal. Seperti ungkapan Freggiyanto BS, “para praktisi dalam dunia sekolah juga tidak boleh mendoktrin siswanya untuk memposisikan pengetahuan “sekolahan” dengan “pengetahuan lokal”dalam kutub yang berlawanan. Para siswa diiming-imingi janji masa depan yang cerah dengan PNS, Wiraswasta, dokter, guru. Parahnya lagi, petani, nelayan, pemburu, tukang kayu, tukang bangunan adalah profesi tandingan yang dijelaskan sekolah sebagai pekerjaan yang tidak “terdidik”. (hal. 133)

Buku ini juga memotret bagaimana hiruk pikuk masyarakat Papua ketika hari kemerdekaan 17 Agustus tiba. Dan ternyata, meskipun daerah mereka jauh dibagian timur Indonesia, rasa nasionalisme dalam dada mereka tetap menyala. Dibagian keempat buku ini diakhiri dengan kata pamit dan catatan perjalanan mendaki ke puncak salah satu gunung yang ada di Papua. Di samping itu, buku ini juga dilengkapi dengan foto kondisi pendidikan anak-anak pedalaman yang butuh kepada perhatian pihak yang bersangkutan. Wassalam.   

Identitas Buku

Judul Buku   : Belajar Mengajar

Penulis          : Freggiyano Banyu Satria, dkk.

Penerbit        : Cantrik Pustaka

Tahun terbit : Cetakan 1, Februari 2018

Tebal              : 241 Halaman

ISBN               : 978-602-6645-60-9

Artikel ini telah dibaca 2 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Mewujudkan Demokrasi Sehat Melalui Pilkada Serentak

23 November 2024 - 08:59 WIB

Santri Sebagai Pilar Perdamaian di Dunia Perpolitikan

21 November 2024 - 09:10 WIB

Bahaya Politik dan Pertumpahan Darah, Bagaimana Solusinya?

19 November 2024 - 11:42 WIB

macam-macam darah wanita

Peran Santri dalam Membangun Generasi Emas Indonesia

17 November 2024 - 12:42 WIB

Dari Keraguan ke Keyakinan: Menemukan 7 Rahasia Kekuatan Pribadi dalam Diri

16 November 2024 - 10:11 WIB

Menakar Efektivitas Pemberdayaan Sistem Koperasi dalam Program “Solusi Nelayan”

11 November 2024 - 14:43 WIB

Trending di Suara Santri