Oleh: Syaiful Bahri
Perkembangan teknlogi tidak hanya melahirkan banyak inovasi dan produk di bidng teknologi. Di sisi lain akan memburu manusia berkomunikasi dan berinteraksi yang seakan tidak memiliki batasan (bordeless) dan hampir tidak ada privasi lagi. Keterhubungan aktivitas di media sosial memberi warna lain bagi perjumpaan sebelumnya. Yang barangkali hadirnya artificial intelligence semakin memperlebar sisi-sisi kemanusiaan di ruang digital.
Era digital mampu membentuk masyarakat baru. Perpindahan manusia secara besar-besaran menuju ruang baru bernama digital yang dalam bahasa Rhenald Kasali dinamakan the great shifting. Sedangkan jauh-jauh hari, Alvin Toffler menamai dengan istilah the third wave. Dalam penelitian Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) tahun 2016 ada sekitar 132,7 juta orang Indonesia yang hidupnya tersambung dengan internet. Pada periode tahun 2022-2023 mencapai 215,63 juta orang. Artinya dari tahun 2016 sampai 2022 mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Di sisi lain, masyarakat Indonesia cukup dikenal sebagai masyarakat religiusitas yang tinggi. Agama menjadi spirit dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Berbarengan dengan hal ini, kehidupan virtual mejadi semacam dunia baru dalam perkembangan masyarakat yang universal. Islam misalnya, sejatinya sebagai agama universal punya peran dalam merespon problem sosial. Lebih jauh Islam perlu hadir untuk menjembatani etika perkembangan zaman digital.
Pelan-pelan, perkembangan teknologi informasi in bukan saja menuntut perubahan era, jauh dari itu mampu mempengaruhi pelbagai lini kehidupan umat manusia. Salah satu implikasi dari kehidupan beragama di ruang digital yaitu bergesernya pola Islam komunal kepada Islam yang cenderung individual. Pengajian-pengajian beralih pada gawai masing-masing individu bukan lagi di ruang publik yang menghadirkan penceramah di atas panggung.
Model konsumsi informasi agama mengalami perpindahan dari diskusi dan ceramah tatap muka ke ruang virtual. Di sini muncul pemahaman terhadap agama beragam. Konten-konten yang ditampilkan justru mencakup berbagai topik. Artinya, era digital akan mengubah warna keberagamaan kita secara tidak disadari. Untuk itu, kita perlu membidik sisi positif dari era ini, seperti tumbuh kembangnya inovasi dalam penyebaran dakwah Islam melalui media sosial, meningkatnya sumber daya umat muslim melalui pengembangan dan pemanfaatan teknologi dan informasi, dan munculnya kiai dan gus-gus pesantren yang tampil ke ruang media sosial.
Meskipun kita pun sadar bahwa di balik semua itu ada sisi negatif, seperti misal ancaman penyalahgunaan pengetahuan lewat konten-konten, penyebaran keberagamaan yang cenderung radikal mudah dijumpai, isu SARA dan kecanduan berlebihan terhadap gadget. Wajah baru bernama era digital mau tidak mau harus diterima dan kita sebagai umat beragama sadar betul terhadap perkembangan ini. Justru ruang baru ini menjadi unik ketika direspon oleh kita, kegiatan-kegiatan keagamaan bisa digelar secara virtual dan tidak hanay sebatas menunaikan kegiatan spiritualitas.
Ruang-ruang digital dapat dipergunakan entitas sebagai arena pertarungan wacana keagamaan sekaligus, media dialogis seputar keislaman, dan komunikasi keagamaan baru yang mendorong keterlibatan khalayak aktif di dalamnya. Terbutkti hal ini bisa kita jumpai pada era pandemi kemarin. Masyarakat muslim terhubung secara universal dan bahu membahu untuk saling membantu satu sama lain, bahkan mulai mendiskusikan tentang kegiatan keagamaan di berbagai wilayah. Artinya, fenomena ini menjadi ruang umat Islam untuk saling terintegrasi dengan umat agama lain dalam menyampaikan misi agama yang penuh kasing sayang dan rahmah.
Lebih jauh, media digital membua ruang dialog antar masyarakat muslim dan pertemuan antar entitas dalam ruang virtual mendorong munculnya gagasa baru, idem dan ekspresi keagamaan dapat disalurkan dengan baik. Beragamanya aktivitas dan kegiatan keagamaan di media sosial membuat ajaran Islam semakin hidup dan membangun iklim religius dan mengukuhkan identitas keagamaan yang ramah dan beretika.