Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan? Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Suara Santri · 6 Jul 2023 09:24 WIB ·

Dilema Barokah Jurnalis Pesantren  


 Dilema Barokah  Jurnalis Pesantren   Perbesar

Oleh : Abdul Warits

Saya yakin setiap santri yang berada di pesantren pasti mengharapkan barokah dalam hidupnya apalagi ketika pulang ke masyarakat nanti. Tetapi, cara memperoleh barokah itu barangkali banyak jalannya. Bukan hanya menjadi mereka yang pengurus pesantren, pengurus organisasi daerah tapi santri juga bisa mendapatkan barokah meski jalan pengurus pesantren dengan santri itu berbeda-beda dalam pengabdiannya.

Salah satu cara santri mendapatkan barokah misalnya taat aturan pesantren, mengaji, membaca al-fatihah untuk guru, mau dihukum ketika melanggar. Itu cara paling gampang santri mendapatkan barokah.  Karena hal tersebut juga termasuk pengabdian. Coba perhatikan yang saya sebutkan: semuanya berpusat pada hati nurani.

Majalah PP. Al-Anwar Sarang Rembang pernah mengangkat tema tentang “totalitas mengabdi”. Santri-santri kuno sering berdalil bahwa barokah itu hanya bisa didapatkan dengan jalan pengabdian. Jika dikaji kembali, pengabdian bukan hanya soal kerja, tapi pengabdian itu banyak jalannya. Setidaknya pengabdian itu ada dua: pertama, dalam bentuk pemikiran: mereka yang mengajar, memberikan kritik untuk kebaikan, ikut menyumbangkan pendapat dalam sebuah rapat untuk memecahkan persoalan itu sudah masuk dalam pengabdian. Intinya bersumber dari otak. Kedua, dalam bentuk tenaga. Ini sifatnya lebih kepada otot seperti membantu pembangunan pondok, ngecor, ikut membersihkan lingkungan, dan lainnya. Begitu kira-kira kata alumni. Sekarang reka-reka, kalian bisa yang mana ? kerjakan sesuai nurani.   

Dengan berbagai pengabdian yang dilakukan di pesantren, banyak orang yang mengharapkan barokah. Padahal, barokah itu adalah sesuatu yang kasat mata. Tidak bisa dengan mengandalkan dua macam pengabdian itu santri akan memperoleh barokah ketika pulang ke rumahnya. Barokah itu mistis. Jangan mengandalkan bahwa ketika kita sudah mengerahkan segala upaya dalam bentuk pemikiran dan tenaga dengan gagah mengatakan akan mendapatkan barokah (atolayan). Tetapi, setidaknya, menurut saya, mereka sudah memantaskan diri untuk bisa mendapatkan barokah. Begitulah kira-kira pendapat dari kiai Faizi. Barokah itu diberikan kepada orang yang memantaskan diri untuk memperoleh barokah. Karena barokah tidak akan salah sasaran. Maka, bekerjalah untuk barokah.

Konsep barokah bisa diartikan sebagai pancaran (iluminasi). Artinya, pesantren menjadi lahan potensial untuk memperoleh barokah atau dalam istilah  orang Madura sebagai “tana massa’”(tanah gembur). Apa yang ditanam di pesantren suatu saat akan memetik hasilnya. Maka, bekerjalah dengan proporsionalitas di pesantren. Bekerja dengan hati nurani, bukan bekerja karena keterpaksaan atau egoisme semata meski pada awalnya harus dipaksa sehingga menjadi biasa. Memang susah menggerakan kesadaran hati nurani. Hati nurani hanya dimiliki oleh seorang jurnalis santri yang memahami setiap situasi dan kondisi.

 Seorang jurnalis santri  memang dituntut untuk bekerja dengan hati nurani. Karena sejatinya ia adalah orang yang mengungkap soal kebenaran sepahit apapun keadaaanya. Bagi yang masih membohongi hati nurani, cobalah untuk mengatakan yang sejujurnya karena jujur tidak akan rugi. Seorang jurnalis adalah orang yang memperjuangkan demokrasi, menghibur yang papa dan menegur yang kaya. Kerja seorang jurnalis memang tidak akan tampak dalam pandangan, tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap kemajuan suatu institusi.

Kemarin saya membaca Koran Kompas edisi 10 September 2020 bahwa profesi jurnalis menurut Jakoeb Utama, salah satu pemimpin redaksi Koran Kompas yang meninggal beberapa waktu lalu adalah sebagai panggilan yang diberikan untuk melayani dan mengabdi untuk masyarakat. Wartawan bukan sekadar profesi melainkan panggilan. Profesi adalah adalah karir yang bisa diraih dari diri sendiri sedangkan panggilan datang dari luar semacam anugerah yang diberikan. 

Bayangkan, kerja jurnalis memang selalu didesak. Ada kegiatan dalam organisasi harus ditulis dalam bentuk berita atau laporan dengan cepat meski kesibukan dari masing-masing kita seringkali menghantui dalam kehidupan keseharian selama berada di pesantren. Jangan pernah mengeluh meski hal tersebut terkadang bertentangan dengan hati nurani, jurnalis tidak bekerja untuk dirinya sendiri tetapi ia bekerja untuk masyarakatnya dengan profesi jurnalisme tersebut. Kerjakan dengan “hati yang damai” karena perbuatan yang dilandasi dengan keikhlasan sangat besar manfaatnya sekalipun hanya setetes tinta dituliskan.

Berusahalah menjadi seorang jurnalis yang memiliki hati yang damai. Karena saya yakin kalian akan selalu siap dibawa ke dalam kesusahan atau kesenangan. Bagi seorang jurnalis, dimana mana hatinya “senang” untuk bekerja demi barokah. 

Artikel ini telah dibaca 13 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Tantangan dan Peluang Pesantren di Era Modern

27 September 2024 - 14:53 WIB

Mengetahui Seseorang Banyak Membaca Buku atau Tidak, Begini Caranya

22 September 2024 - 14:08 WIB

Peran Perempuan Muslim dalam Kepemimpinan: Menggali Kembali Ajaran Islam tentang Keadilan Gender

22 September 2024 - 14:04 WIB

Perayaan Maulid Nabi Sarana Memperkuat Persatuan Kebangsaan

21 September 2024 - 11:07 WIB

Pesantren: Pusat Pendidikan dan Pengembangan Karakter

21 September 2024 - 08:35 WIB

Upaya Dasar Pencegahan Bullying Di Pesantren

20 September 2024 - 21:13 WIB

Trending di Suara Santri