Penulis: Ahmad Falahuji
Aman merupakan nikmat yang sangat agung yang diberikan oleh Allah kepada setiap makhluknya. Hal ini sebagaimana penafsiran Fakhr ad-Din ar-Razi terhadap firman Allah SWT yang bercerita tentang permohonan pertama dari baginda Nabi Ibrahim AS kala beliau diutus untuk mensucikan Baitullah dari berhala-berhala. Allah SWT berfirman:
وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّ اجْعَلْ هٰذَا بَلَدًا اٰمِنًا
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah (negeri Mekah) ini negeri yang aman.” (QS. Al-Baqarah: 126)
Dalam menafsiri ayat di atas, ar-Razi mengungkapkan: “Menjadikan permohonan nikmat aman menjadi permohonan pertama dari Nabi Ibrahim. Dalam doa ini, menunjukan bahwa sungguh nikmat aman adalah nikmat dan kebaikan yang lebih agung daripada nikmat yang disebutkan setelahnya (yaitu tentang nikmat-nikmat berupa rezeki berupa buah-buahan). Dan sesungguhnya tidak akan sempurna satupun kemaslahatan baik itu ketika berkaitan dengan dunia ataupun agama, kecuali dengan keadaan aman.”[1]
Mengenai makna aman yang dimaksud dalam ayat di atas, ulama tafsir berbeda pendapat. Ada yang memaknai aman dari kebinasaan. Ada yang memaknai aman dari krisis pangan serta juga ada yang memaknai aman dari pembunuhan.[2]
Maka seharusnya setiap individu manusia bersatu dan bahu-membahu untuk berusaha mewujudkan, menjaga dan mensyukuri nikmat aman tersebut. Sebab, jika manusia terpecah belah, maka yang terjadi hanyalah kehancuran. Baik berupa kebinasaan, krisis pangan ataupun pembunuhan.[3]
Oleh karenanya mengimplementasikan kerukunan antara bangsa adalah sebuah hal yang harus diimplementasikan. Baik antar sesama negara Islam atau dengan negara non-Muslim. Syekh al-Maraghi mengungkapkan sebuah pandangan tentang perdamaian sebagaimana berikut:
وإذا جازت موالاتهم لاتقاء الضرر فأولى أن تجوز لمنفعة المسلمين، وإذا فلا مانع من أن تحالف دولة إسلامية دولة غير مسلمة لفائدة تعود إلى الأولى إما بدفع ضرر أو جلب منفعة،
“Dan ketika boleh berdamai dengan non-Muslim untuk menjauhi bahaya, maka menjadi sebuah hal yang lebih utama diperbolehkannya berdamai dengan non-Muslim untuk memberi manfaat kepada sesama Muslimin. Dan oleh karenanya, tidak ada hal yang mencegah bagi negara Muslim untuk berkerja sama dengan negara non-Muslim untuk sebuah faidah yang lebih utama daripada mencegah bahaya dan menggapai kemaslahatan.”[4]
Oleh karenanya, menciptakan perdamaian, apalagi dalam negara yang dihuni dengan berbagai suku, budaya dan agama, menjadi sangat penting untuk diterapkan sebagai implementasi menciptakan kemakmuran dan kemaslahatan dalam bernegara.
Baca juga: Hukum Memakan Daging Kurban Sendiri
Tonton juga: PRASANGKA | Short Film Of Grup Taks 2 Duta Damai Santri Jawa Timur.
[1] Fakhr ad-Din ar-Razi. at-Tafsir al-Kabir. Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Juz. 4. Hal. 49.
[2] Ar-Razi. at-Tafsir al-Kabir. Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Juz. 4. Hal. 50.
[3] Abu Hayyan al-Andalusy. al-Bahru al-Muhit. Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Juz. 4. Hal. 499.
[4] Syekh al-Maraghi. Tafsir al-Maraghi. Juz. 3. Hal. 136.
Menciptakan Rasa Aman dengan Perdamaian
Menciptakan Rasa Aman dengan Perdamaian