Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Bagaimana Perempuan Haid Dapat Pahala di Bulan Ramadan? Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Kontra Narasi · 6 Jun 2023 08:33 WIB ·

Ambiguitas Generasi Muda Melihat Politik


 Ambiguitas Generasi Muda Melihat Politik Perbesar

Oleh: Aliya

Seiring dengan perkembangan teknologi dan globalisasi, partisipasi politik pemuda masih menjadi isu menarik karena hari ini dominasi pemuda menjadi signifikan. Dengan rentang usia antara 17 hingga 22 tahun serta kebiasaan sehari-hari yang tidak lepas dari sosial media dan internet, tulisan ini mencoba melihat partisipasi politik pemuda sebagai pengguna media sosial dan pemilih pemula serta indeks ketertarikan mereka.

Partisipasi politik tidak semata-mata diukur berdasarkan pemberian suara pada saat pemilu. Ada banyak bentuk partisipasi politik seperti: mengirim surat (pesan) kepada pejabat pemerintahan, ikut serta dalam aksi protes atau demonstrasi, menjadi anggota partai politik, menjadi anggota organisasi kemasyarakatan, mencalonkan diri untuk jabatan publik dan lainnya.

Beberapa media informasi memberitakan anggapan umum terhadap generasi muda yang gandrung media sosial biasanya cenderung lebih asyik dengan dirinya sendiri, bersikap anti-sosial karena kurang peduli dengan lingkungan di sekitarnya alih-alih isu politik. Hal ini diperkuat dengan data dari survei yang dilakukan Global Web Index (2010) menunjukkan bahwa Indonesia, diantara negara Asia lainnya, memiliki pengguna internet yang paling banyak menggunakan

media sosial (79.72%), bandingkan dengan Jepang (30.1%), Australia (48.8%) dan Singapura (63%) dengan persentase pemuda sekitar 70% dan termasuk kedalam pemilih pemula. Sedangkan dalam keadaan itu, pemilih pemula merupakan salah satu kelompok penting pada setiap pemilu di Indonesia karena jumlahnya yang mendominasi. Salah satu faktor dukungan gejala sosial yang memframing hoby anak muda terhadap kebiasaan konsumtif dan hedon itulah yang semakin mempertegas kesan acuh mereka terhadap politik dan kondisi bangsa.

Namun meskipun begitu, pendapat umum yang ‘lumrah’ tersebut tentu tidak bisa dijadikan legitimasi kelaziman indeks tingkat ketertarikan generasi Z yang sedemikian rendah terhadap politik sebab jika diteliti dari sisi lainnya, sebagai contoh beberapa postingan media sosial anak muda masih banyak yang peduli dengan kondisi bangsa dengan turut memberikan komentar kritis jika ada kegiatan pemerintah yang tidak sesuai dengan tujuan Pancasila, setidaknya komentar mereka merupakan suara dan perhatian terhadap kebijakan publik.

Generasi Muda Tidak ‘cuek’ Politik

Dalam beberapa kasus ada sebagian anak muda yang golput terhadap politik sebagai bentuk ketidakpercayaan mereka terhadap pemerintah. Pertanyaan ‘mengapa’ seringkali dilontarkan sebagai ungkapan rasa bingung meskipun gejalanya sudah tampak di depan mata. Jika diluruskan sebenarnya politik yang tidak disukai oleh generasi muda adalah politik ‘kotor’ dalam persepsi mereka dan sebaliknya mereka sangat mendukung terhadap politik bersih- dalam persepsi mereka pula, meskipun secara teoritis banyak sekali definisi politik secara textual dalam berbagai literatur.

Generasi muda dengan budaya mereka yang ingin serba instan dan menguntungkan menyukai dan mau berpartisipasi dalam kegiatan politik yang bersifat menguntungkan. Menguntungkan dalam arti positif yaitu kemaslahatan umat, bukan kecenderungan koruptif.

Dengan fitrah manusiawi yang peduli dengan kemanusiaan, mereka lebih memihak terhadap perbuatan yang memberikan manfaat terhadap orang lain tanpa embel-embel bendera partai dan siasat lainnya yang dikamuflase. Hal ini mengacu pada teori klasik Aristoteles yang menyatakan definisi politik sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Namun disisi lainnya meskipun sedikit sensitif terhadap politik pemerintah, mereka (baca: generasi muda) juga tidak menafikan politik-politik lainnya yang bersifat menguntungkan dalam aktivitas sehari-hari.

Jadi tidak heran jika timbul pertanyaan unik, Mengapa ada banyak orang yang tidak mempercayai Covid-19, namun semua orang mempercayai bantuan yang diberikan atas nama Covid-19?

*Mahasiswi IST Annuqayah Guluk-Guluk dan Founder Setara Perempuan

Artikel ini telah dibaca 1 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Membangun Jembatan Perdamaian di Era Digital

1 Oktober 2024 - 19:36 WIB

Harmonisasi dalam Keberagaman: Kunci Kemajuan Bangsa

1 Oktober 2024 - 19:33 WIB

Harmoni dalam Keberagaman: Jalan Persatuan Bangsa di Era Bonus Demografi Menuju Indonesia Emas

1 Oktober 2024 - 19:31 WIB

Toleransi: Pilar Utama Masyarakat Multikultural

30 September 2024 - 06:22 WIB

Pendidikan sebagai Kunci Perdamaian Berkelanjutan

30 September 2024 - 06:20 WIB

Media dan Perannya dalam Mempromosikan Toleransi

30 September 2024 - 06:17 WIB

Trending di Kontra Narasi