Oleh: Abdul Warits
Media sosial telah menjadi salah satu medium utama dalam penyebaran ideologi radikal dan terorisme. Kelompok radikal memanfaatkan platform ini untuk menyebarkan propaganda, merekrut anggota baru, dan menyebarkan kebencian. Konten-konten yang diproduksi sering kali dirancang secara sistematis untuk memengaruhi emosi, pola pikir, dan tindakan audiens. Berikut adalah lima ciri utama konten media sosial yang terpapar virus radikalisme dan terorisme.
1. Mengandung Ujaran Kebencian (Hate Speech)
Konten radikal di media sosial sering kali dipenuhi dengan ujaran kebencian. Konten ini bertujuan menciptakan permusuhan terhadap kelompok tertentu berdasarkan agama, ras, etnis, atau pandangan politik. Ujaran kebencian ini disampaikan melalui teks, gambar, atau video yang menciptakan stereotip negatif dan menimbulkan ketegangan sosial. Kalimat-kalimat seperti “mereka adalah musuh” atau “kelompok ini harus dihancurkan” sering ditemukan dalam konten semacam ini.
2. Propaganda Ideologi Ekstrem
Ciri lain yang menonjol adalah konten yang mempromosikan ideologi ekstrem. Narasi dalam konten ini sering kali menyampaikan pandangan dunia yang sempit dan membagi masyarakat ke dalam dua kubu: “kami” (pihak yang benar) dan “mereka” (pihak yang salah). Konten ini biasanya berisi ajakan untuk bergabung dengan kelompok tertentu yang dianggap “benar” dan menggambarkan tindakan kekerasan sebagai bagian dari perjuangan yang sah.
3. Ajakan untuk Kekerasan dan Tindakan Terorisme
Konten media sosial yang terpapar radikalisme sering kali secara terang-terangan atau terselubung mengajak audiens untuk melakukan kekerasan. Ajakan ini bisa berupa perintah untuk melakukan aksi tertentu, glorifikasi tindakan teroris, atau penggambaran kekerasan sebagai tindakan heroik. Narasi ini bertujuan untuk memprovokasi individu agar merasa memiliki kewajiban moral atau agama untuk melakukan kekerasan.
4. Menyebarkan Informasi Hoaks dan Teori Konspirasi
Hoaks dan teori konspirasi menjadi alat utama kelompok radikal untuk membangun ketidakpercayaan terhadap pemerintah, institusi, atau kelompok lain. Konten ini sering kali menggunakan data atau fakta yang dipalsukan, video yang dimanipulasi, atau narasi palsu untuk membingkai suatu peristiwa sesuai dengan agenda kelompok tersebut. Misalnya, teori konspirasi bahwa “pemerintah sengaja menghancurkan agama tertentu” sering digunakan untuk memicu kemarahan publik.
5. Menyisipkan Simbol dan Pesan Terselubung
Konten radikal sering kali menyisipkan simbol atau pesan terselubuh yang hanya dapat dimengerti oleh kelompok tertentu. Simbol-simbol ini bisa berupa gambar, logo, atau kata-kata tertentu yang menunjukkan afiliasi terhadap kelompok radikal. Selain itu, konten ini juga sering menggunakan bahasa yang tampak biasa tetapi memiliki makna mendalam bagi audiens target, seperti istilah keagamaan atau jargon ideologi.
Maka dari itu, media sosial merupakan alat yang sangat efektif dalam menyebarkan ideologi radikal dan terorisme. Oleh karena itu, masyarakat perlu meningkatkan literasi digital untuk mengenali dan melaporkan konten semacam ini. Langkah-langkah seperti verifikasi informasi, tidak mudah terprovokasi, dan melibatkan platform media sosial dalam pengawasan konten berbahaya dapat membantu meminimalkan penyebaran virus radikalisme dan terorisme di dunia maya. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan platform teknologi sangat penting untuk menciptakan lingkungan digital yang aman dan bebas dari ancaman radikalisme.