Oleh : Abdul Warits*
Sebagai orang Madura yang tinggal dan dibesarkan di pedesaan, awalnya saya tidak mengetahui seluk beluk dan sejarah ruqyah. Istilah ruqyah pertama kali saya dengar dari kakak saya sendiri bahwa ruqyah itu adalah semacam ritual dengan membacakan ayat al-Quran dalam rangka menyembuhkan penyakit. Ketika mengikuti ruqyah massal, saya terkejut karena para jamaah yang ikut kemudian muntah-muntah. Saya semakin heran saja pada waktu itu, hanya karena baca ayat-ayat Al-Quran kok bisa para jamaah itu muntah-muntah. Saya tanggung sendiri kebingungan itu.
Pengetahuan saya tentang ruqyah memang tidak begitu mendalam. Tetapi, saya seringkali mendengar penjelasan dari ustaz Suhairi Es-Shabar, ketua Jamiyah Ruqyah Aswaja (JRA) Bindara Saod Sumenep saat memberikan sambutan pada kegiatan ruqyah massal. Ia mengatakan jika ruqyah adalah terapi pengobatan Al-Quran. Katanya, Al-Quran adalah obat pertama dan utama. Saya masih belum paham meski beberapa kali pernah melakukan kerja sama dengan organisasi Jamiyah Ruqyah Aswaja dalam rangka melaksanakan ruqyah massal untuk masyarakat pedesaan.
Pada waktu itu, saya masih menjadi mahasiswa akhir di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir. Saya berpikir judul skripsi yang akan saya kerjakan sebagai pertanggungjawaban akademik. Akhirnya, setelah merenungkan dengan begitu panjang, saya putuskan untuk meneliti tentang ayat-ayat ruqyah yang dipraktikkan oleh Jamiyah Ruqyah Aswaja dan relevansinya dengan tafsir sunni. Saya searching di google bahwa penelitian ini tidak ada di google. Naasnya, rencana penelitian yang sudah saya persiapkan jauh-jauh hari itu, ternyata terdapat penelitian terbaru di tahun 2019 yang juga membahas tentang ruqyah di Jamiyah Ruqyah Aswaja. Namun, dengan pendekatan dan teori yang berbeda.
Saya tetap membela judul skripsi saya ini di hadapan dosen pembimbing meski ia menyarankan untuk meneliti kasus-kasus yang kontekstual dan kontemporer. Akan tetapi, saya tetap bersikukuh dengan pendirian saya untuk meneliti organisasi Jamiyah Ruqyah Aswaja, organisasi yang baru didirikan sejak tahun 2019 kemarin. Setelah selesai sidang munaqasah, saya berpikir bahwa apa yang akan diberikan seorang akademisi kepada masyakatnya selain ilmu dan pengetahuan serta idealisme yang diimplementasikan ke dalam sebuah gerakan dan pengamalan?
Oleh sebab itu, saya mengemas skripsi dengan penelitian living qur’an, dengan melibatkan diri ke dalam sosial-kemasyarakatan, meoncoba berinteraksi dan meneguhkan lembaga ruqyah sesuai dengan pandangan ulama’ ahlussunah wal jamaah serta relevansi ayat yang digunakan dengan tafsir sunni. Saya lebih condong kepada pendekatan living quran karena penelitian skripsi saya itu—sebagaimana ungkapan Abdul Mustaqim—tidak bersifat elitis, yang hanya dinikmati oleh kalangan akademisi untuk dikembangkan penelitiannya demi pengabdian kepada ilmu pengetahuan tetapi juga bersifat emansipatoris, dinikmati oleh masyarakat akar rumput, dipahami oleh orang-orang awam pedesaan.
Saya ingin meniru jejak Pramodya Ananta Toer yang menulis novel Arus Balik dengan pendekatan sastra sehingga mudah dipahami dan dibaca oleh berbagai kalangan. Selain itu, saya juga ingin meniru Kiai Hasyim Asy’ari, pelopor berdirinya Nahdhatul Ulama (NU) yang menulis kitab At-tanbihat al-wajibat yang merespon isu sosial kemasyarakatan tentang maulid nabi dan praktiknya yang disalahgunakan oleh masyarakat ketika itu.
Dengan karangan tersebut, justru kiai Hasyim Asy’ari mendapatkan fitnah sebagai orang wahabi karena tidak membolehkan maulid nabi. Padahal, kiai Hasyim Asy’ari bukan mengharamkan tradisi maulid tetapi tercampurnya kemungkaran di dalam tradisi maulid ketika itu sehingga beliau mengkritiknya lewat tulisan dalam mendidik dan berdakwah dengan gagasan yang mencerdaskan masyarakat akar rumput.
Begitupun dengan tujuan saya meneliti tentang ayat-ayat ruqyah dalam penafsiran mufassir sunni serta pendekatan struktural fungsionalisme dalam sosiologi agama. Maksud saya agar lembaga Jamiyah Ruqyah Aswaja (JRA) ini bisa diketahui oleh khalayak dan sebagai organisasi yang ingin mendakwahkan al-Quran sebagai pengobatan yang pertama dan utama. Selain itu, maksud saya juga sebagai langkah dalam menepis disalahgunakannya tradisi ruqyah di kalangan masyarakat saat ini dengan merebaknya streotip dan distorsi terhadap tradisi ruqyah melalui televisi, kanal youtube, yang dilakukan oleh pihak sebelah (orang-orang diluar NU). Meski –secara hakikatnya—dalam sejarah, ruqyah adalah tradisi pada masa nabi yang perlu untuk dilestarikan dengan cara-cara yang kreatif seperti yang dilakukan oleh Jamiyah Ruqyah Aswaja .
Saya mengharapkan penelitian skripsi saya ini kemudian menjadi pemantik dalam mengawal dakwah Alquran agar tidak disalahgunakan fungsinya di tengah-tengah masyarakat sehingga Alquran benar-benar menjaga eksistensinya sebagai obat pertama dan utama terhadap makhluk yang sakit. Saya rekomendasikan kepada peneliti selanjutnya agar ayat-ayat ruqyah JRA ini bisa dikaji secara komprehensif dalam studi komparasi penafsiran, terutama ayat-ayat syifa’ di dalamnya dengan pendekatan nuansa tafsir sunni dan tafsir wahabi karena organisasi ini dilahirkan dalam rangka merespon gerakan wahabi.
Saya ingin menyampaikan kepada seluruh masyarakat dan kalangan akademisi, pecinta al-Quran, hendaknya bisa mendakwahkan Alquran dalam bidang pengobatan karena hal ini merupakan gerakan dan pengamalan yang banyak dilupakan oleh masyarakat tentang kesakralan Alquran sebagai obat. Hal tersebut penting agar cara masyarakat dalam merespon Alquran sebagai pengobatan tidak terperangkap dalam perbuatan syirik dan sesuai dengan akulturasi budaya nusantara dan syariat Islam melalui gerakan yang dibumikan oleh Jamiyah Ruqyah Aswaja bekerja sama dengan seluruh elemen dan stakeholder yang ada di masyarakat. Karena sepanjang saya mengikuti organisasi Jamiyah Ruqyah Aswaja ini, untuk memperkuat struktur dan fungsinya sebagai dakwah al-Quran di bidang pengobatan, acapkali mereka bekerja sama dengan instansi pemerintahan, rutinitas, perkumpulan-perkumpulan dalam bahkan sekolah dan lembaga pendidikan dalam rangka menyelenggarakan ruqyah massal.
Kalau perlu, pembumian alquran sebagai pengobatan pertama dan utama harus digalakkan oleh semua kalangan; pemerintah, masyarakat, instansi-instansi, akademisi dan kalangan masyarakat pedesaan yang awam tentang tradisi ini. Karena dengan begitu, persoalan pengobatan penyakit medis dan non medis tidak hanya diperhatikan oleh dokter atau praktisi, tapi secara kelompok mempunyai kesadaran mentradisikan kebiasaan baik ini sebagai bentuk terapi penyembuhan fisik dan non fisik bernuansa spiritual yang potensial melalui kemukjitan ayat-ayat al-Quran.