Oleh : Abdul Warits*
Tidak, Melva, penyair tidak sedih karena ditinggalkan, juga tidak sakit karena akhirnya selalu dikalahkan, penyair tidak menangis karena dikhianati, juga tidak pingsan karena mulutnya dibungkam, penyair akan mati apabila kehilangan tenaga kata-kata atau kata-kata saktinya berubah menjadi prosa.
(Acep Zamzam Nor)
Bait-bait puisi diatas barangkali cukup mewakili terhadap antologi tunggal Agus Noor yang berjudul Barista Tanpa Nama ini. Puisi yang ditulis oleh Acep Zamzam Noer pada tahun 2007 itu sepertinya bisa dijadikan justifikasi sekaligus apresiasi mendalam bagi perkembangan kesusastraan Indonesia hari ini. Buku ini menjadi “segar” di hadapan pembaca karena latar belakang cara menulisnya yang berbeda dengan pengalaman pribadinya.
Buku Barista Tanpa Nama ini adalah salah satu antologi tunggal Agus Noor dalam bentuk puisi. Agus Noor yang berlatarbelakang sebagai cerpenis ternyata bisa menerbitkan antologi puisi tunggal yang sangat fenomenal ke dalam benak pembaca. Hal ini tentu saja merupakan kabar baik bagi perkembangan kesusastraan Indonesia dengan berlandaskan kepada berbagai alasan.
Pertama, antologi tunggal ini senantiasa berdialektika dengan bait-bait puisi tersebut sehingga Agus Noor yang lebih dikenal oleh media dan pembaca sebagai seorang cerpenis ternama dalam dunia kesusastraan Indonesia, justru bisa menghapus dan mengalihkan anggapan serta tanggapan mereka tentang kemasyhuran Agus Noor sebagai pengarang yang sangat lihai dalam meramu cerita. Kita seakan-akan dibuat takjub dengan adanya antologi ini. Sebab, antologi ini lahir dari proses yang tidak biasa dijalani oleh Agus Noor sebagai seorang cerpenis yang penuh imajinatif-kreatif.
Kedua, antologi ini juga bisa menjadi resistensi seorang penulis prosa untuk menunjukkan kata-kata saktinya ke dalam bentuk puisi. Sebab, tidak bisa dinafikan bahwa penulis puisi yang baik adalah penulis prosa yang baik atau sebaliknya. Sebagaimana dalam bait puisi di dalamnya:”penyair tak hanya menulis puisi, ia menulis takdirnya sendiri”. (hal.79)
Ketiga, Hippolyte Taine mengemukkan bahwa cara untuk melihat karya sastra seseorang dari tiga hal yakni ras/bangsa, lingkungan, dan momen. Konsep ini penting karena teks lahir bersingggungan dengan lingkungan, dan dunia kepengarang seorang pengarang. Beberapa bait puisi di dalam buku ini menggambarkan sosok Agus Noor yang begitu lihai memainkan kata-kata saktinya dengan ciri khas percakapan yang ada dalam puisinya sebagaimana juga terdapat dalam cerpen-cerpen yang dia ciptakan. Seperti “mana lebih hitam, secangkir kopi yang dibiarkan dingin atau hati perempuan kesepian?” (hal.14).
Antologi ini terdiri dari dua bagian yang menjadi sub pembahasan di dalamnya. Pertama, kitab cinta para peratap. Kedua, ciuman yang menyelematkan dari kesedihan. Sentuhan-sentuhan melankolis begitu kentara di dalamnya. Gaya penulisan yang khas dalam bait puisinya menjadi pengokoh cuplikan puisi Acem Zamzam Nor diatas bahwa penyair menjadi seseorang yang “tak berdaya” apabila kehilangan tenaga kata-kata atau kata-kata saktinya berubah menjadi prosa. Melalui antologi puisi tunggal ini, Agus Nor ingin membuktikan bahwa menulis puisi adalah cara melawan anggapan-anggapan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kecuali dengan pelaksanaan kata-kata puitis.
Judul : Barista Tanpa Nama
Penulis : Agus Noor
Penerbit : Diva Press
Cetakan : I, Juli 2018
Tebal : 171 halaman
ISBN : 978-602-391-544-6