Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Ruang Tokoh · 5 Agu 2023 19:05 WIB ·

Menjadi Wali Karena Berprasangka Baik Kepada Orang Lain


 Menjadi Wali Karena Berprasangka Baik Kepada Orang Lain Perbesar

Sebagai manusia, kita diperintahkan untuk selalu menanamkan sikap husnudzon dalam setiap keadaan. Apalagi sebagai makhluk sosial yang setiap harinya selalu bersinggungan antar sesama, kita tidak berprasangka buruk terlebih dahulu sebelum adanya bukti yang jelas.

Di dalam al-Qur’an juga teruang agar kita menjauhi perkara tersebut. Sebagaimana dalilnya:

يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا ٱجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka karena sebagian prasangka mengandung dosa.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Perlu diketahui bersama bahwa prasangka buruk hanya akan mendatang kemadharatan bagi seseorang. Imam al-Ghazâli juga berpendapat bahwa orang yang menghakimi orang lain dengan berprasangka buruk, maka setanlah yang menggerakannya. Memanjangkan lidahnya dengan ghibah (menggunjing), yang justru akan menghancurkan dirinya sendiri.

Dari uraian sederhana ini sudah sangat jelas bila syariat sangat melarang orang untuk berprasangka atau mengungkapkan tuduhan-tuduhan yang buruk.[1]

Dalam permasalahan suudzon dan husnudzon ini, terdapat salah satu kisah yang sangat menarik untuk dibahas. Di mana dengan menjaga prasangka baik, mampu mejadikan seseorang terangkat derajatnya ke dalam tempat yang paling tinggi. Sedangkan orang yang berprasangka buruk, dijatuhkan derajatnya ke dalam jurang yang sangat nista.

Tanpa perlu berlama-lama, mari kit aulas pembahasannya di bawah ini.

Di Balik Kewalian Syekh Abdul Qodir al-Jailani

Abdul Qodir al-Jailani

Dahulu ada seorang Wali Allah yang sangat terkenal, bernama Syekh Abdul Qodir al-Jailani. Dia memiliki dua teman dekat yang sangat pintar, yaitu Ibn as-Saqo dan Ibn Abi ‘Usrun. Mereka sering berdebat dengan Abdul Qodir ketika masih muda.

Suatu hari, ketiganya sepakat untuk mengunjungi seorang Wali Ghauts yang terkenal pada masa itu. Setiap orang berbicara tentang tujuan mereka untuk bertemu sang Ghauts:

Ibn as-Saqo berkata, “Saya akan menantangnya dengan pertanyaan sulit yang tidak bisa dia jawab!”

Ibn Abi ‘Usrun berkata, “Saya akan bertanya tentang sesuatu yang bahkan saya sendiri tidak tahu jawabannya!”

Syekh Abdul Qodir berkata, “Saya ingin bertemu untuk mendapatkan keberkahan tanpa harus bertanya apa pun.”

Setelah mereka tiba di tempat sang Ghauts, mereka harus menunggu cukup lama sebelum bisa bertemu dengannya. Akhirnya, mereka diterima oleh sang Ghauts yang tampaknya marah, tetapi juga memberikan cahaya kewalian:

“Hai Ibn as-Saqo! Kamu datang dengan pertanyaan dan tantangan! Jawabannya ada dalam kitab ini, di halaman sekian,” ujar sang Ghauts.

Kemudian, sang Ghauts memberi penjelasan kepada Ibn as-Saqo dan menyuruhnya keluar. “Keluarlah! Aku melihat api neraka berkobar di antara tulang rusukmu!” katanya tegas.

Lalu, sang Ghauts berbicara pada Ibn Abi ‘Usrun, “Kamu datang dengan maksud ingin mengetahui jawabanku sebelum bertanya! Jawabannya ada dalam kitab ini,” katanya sambil memberikan penjelasan.

Kemudian, sang Ghauts menyuruh Ibn Abi ‘Usrun keluar dan berkata, “Keluarlah! Aku melihat dunia mengelilingimu!”

Saat tibalah giliran Syekh Abdul Qodir untuk bertemu sang Ghauts. Sang Ghauts berkata dengan lembut, “Anakku Abdul Qodir, kamu datang untuk mendapatkan keberkahan, insyaallah kamu akan mendapatkannya. Aku melihat suatu hari kamu akan berada di atas para wali.”

Setelah pertemuan dengan sang Ghauts, ketiga teman itu berpisah. Ibn as-Saqo dipanggil oleh raja untuk berdebat dengan para cendikiawan Nasrani. Tantangan ini mengubah hidupnya sepenuhnya karena dia jatuh cinta pada seorang perempuan Nasrani dan memutuskan meninggalkan agamanya untuk menikahinya.

Sementara itu, Ibn Abi ‘Usrun mendapat tanggung jawab dari raja untuk mengelola wakaf dan sedekah, yang membuatnya kaya.

Namun, perubahan paling luar biasa terjadi pada Syekh Abdul Qodir. Dia mendapatkan kedudukan yang mulia dan menjadi pemimpin para kekasih Allah Swt. Dengan hati yang rendah dan penuh rasa syukur, dia bahkan berkata, “Telapak kakiku berada di atas leher para wali,” sebagaimana yang dia dengar dari sang Ghauts.[2]

Hikmah yang Dapat Diambil

Abdul Qodir al-Jailani

Dari kisah di atas, mengajarkan kepada kita bagaimana pentingnya untuk selalu bersikap baik sangka kepada orang lain. Apalagi jika hal tersebut bersinggungan dengan kekasih Allah, maka akan sangat fatal dampaknya ketika tidak memiliki adab yang baik.

Husnudzan menjadi konsep penting dalam agama Islam yang mengajarkan seseorang untuk memiliki sikap positif dan memberikan asumsi yang baik.

Dengan menerapkan husnudzan, seseorang dapat menciptakan hubungan yang harmonis dalam masyarakat. Di samping itu, husnudzan dapat memberikan ruang kepada orang lain untuk membuktikan diri, mencari klarifikasi, memaafkan, dan memperlakukan orang lain dengan hormat santun.

 

[1] Abu Hamid al-Ghazâli, Ihya ‘Ulumuddin (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, tt) 36/III
[2] Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith, Al Fawaid al Mukhtaroh Lisaliki Thariqi al Akhiroh, halaman, 499.

Baca juga: Hukum Membayar Orang Dalam
Tonton juga: PRASANGKA | Short Film Of Grup Taks 2 Duta Damai Santri Jawa Timur.

Artikel ini telah dibaca 46 kali

Baca Lainnya

Pandangan dan Pemikiran KH Wahid Hasyim

30 Oktober 2024 - 06:31 WIB

Biografi KH. Wahid Hasyim: Tokoh Pemuda Inspiratif dari Jawa Timur

30 Oktober 2024 - 06:26 WIB

5 Tokoh Pesantren di Jawa Timur: Pilar Pendidikan dan Dakwah Islam

14 Oktober 2024 - 15:31 WIB

Biografi Kiai Pesantren di Jawa Timur: Penggerak Pendidikan Islam dan Pembangunan Sosial

29 September 2024 - 20:56 WIB

Gagasan Gus Dur dan Relevansinya dengan Pesantren

29 September 2024 - 20:46 WIB

Ini Daftar 17 Pahlawan Indonesia asal Jawa Timur

29 Agustus 2024 - 23:06 WIB

Trending di Ruang Tokoh