Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Kontra Narasi · 20 Jan 2024 20:15 WIB ·

Menanamkan Jiwa Pers di Sekolah


 Menanamkan Jiwa Pers di Sekolah Perbesar

Oleh: Abdul Warits

Berbagai kasus yang telah dipaparkan diatas tentu harus direspon dan diantisipasi oleh pemangku literasi. Di era digital, pemangku literasi adalah mereka yang bergerak dalam dunia pers karena literasi di era digital pasti selalu ada hubungan yang sangat erat dengan pers (penyiaran) sehingga manusia akan mudah menangkap informasi dari media dengan berbagai sumber informasi yang terkadang tidak memadai untuk dijadikan kebenaran mutlak suatu pernyataan. Karenanya, misi jurnalis adalah mendidik masyarakat, memberikan informasi dengan berita yang berimbang,  mengandung verivikasi, akurat.

Jiwa pers memang harus disemai kepada siswa-siswi agar mereka tidak gampang percaya dengan adu domba dari berbagai media. Sehingga akan melahirkan sikap kritis bisa menyaring informasi dengan sebaik mungkin. Karenanya, jiwa pers juga diperlukan sebagai salah satu gerakan paling ampuh untuk menyuarakan demokrasi melalui tulisan.  Suara demokrasi yang muncul dari hari nurani seorang siswa merupakan suara murni bahasa Indonesia dalam bentuk nasionalisme kepada bangsa dan negara. Tidak hanya itu, seorang siswa SMK, misalnya, juga harus dibekali pengetahuan media digital agar bisa mengendalikan berbagai informasi yang meracuni masyarakat di Indonesia yang sangat gencar melalui media online hari ini.

Di era digital, setiap orang adalah pemimpin redaksi. Karena sejatinya manusia selalu mengabarkan dirinya di media. Oleh sebab itu, kegiatan-kegiatan sosial berbasis keislaman, perdamaian, kemasyarakatan, harus diposting di dunia cyber. Kegiatan-kegiatan yang berbau Islam rahmatal lil alamin hendaknya diviralkan melalui website, face book, intagram, youtube atau bahkan media lainnya agar agama Islam tidak diklaim sebagai agama kolot, tidak berdaya. Maka, sebelum terjadi generalisasi dan hipotesis yang salah dalam pandangan mereka, kita harus mengantisipasi tuduhan tersebut dengan menyajikan berita-berita dan informasi yang bisa diterima secara rasional berdasarkan kepada fakta dan realita serta data-data.

Pendidikan pers sudah diterapkan oleh redaksi Jawa Pos Radar Madura ke berbagai sekolah yang ada di pulau Madura. Para jurnalis terjun ke sekolah untuk membekali pengetahuan siswa-siswi menghadapi informasi dengan bijaksana. Karena tidak bisa dipungkiri, bacaan yang masuk ke dalam otak siswa-siswi akan mengendap dan menjadi pola pikir jika tidak diberikan arahan secara baik. Gerilya literasi harus dimulai dari seorang jurnalis. Sebab, jurnalisme adalah salah satu jalan dalam mencari kebenaran yang hilang, menegakkan keadilan dan cara yang paling jitu dalam memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) meski dalam demokrasi barat, profesi jurnalis biasanya dipahami sebagai pekerjaan sekuler. Tetapi, jika kita mengamati kepada tujuan jurnalisme, profesi ini justru sangat mulia dan sesuatu yang sangat dekat dengan nilai-nilai Islam. Hubungan Islam dan jurnalisme bisa kita kutip dalam ayat Al-quran Q.S Al-hujurat (49) : 6 yang berbunyi,”wahai orang-orang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik yang membawa berita, telitilah berita itu agar kalian tidak memberikan keputusan kepada suatu kaum tanpa pengetahuan sehingga kalian akan menyesali apa yang telah kalian kerjakan”.

Pada ayat tersebut, terdapat nilai-nilai jurnalisme yang bersifat Islami semisal ketika wartawan melakukan verivikasi. Wartawan sering menggambarkan proses isnad, atau memeriksa rantai penyebaran. Jurnalisme tidak boleh menjadi jurna-listen. Seorang jurnalis yang hanya mendengar tanpa verivikasi. Salah satu wartawan dari Malaysiakini menyatakan,”dalam hal etika, jurnalisme hampir 100 % sama dengan tujuan agama: mencari keadilan, membantu orang miskin, menyokong penyebaran adil kemakmuran, dan berjuang melawan korupsi”.[1] Profesi ini tentu saja harus mendapat dukungan dari berbagai kalangan sebagai profesi yang lebih dari sekedar “menulis berita” tetapi profesi jurnalis adalah untuk umat dan kemanusiaan.

Tradisi jurnalisme ini harus tetap dipertahankan untuk memajukan negara dan bangsa menuju martabat yang lebih bersahaja. Sebab itulah, jurnalisme adalah salah satu cara dalam mengontrol kekuasaan. Tidak heran, jika di negara Indonesia, jurnalisme seringkali mendapat perlawanan yang sangat sengit dan mempunyai sejarah kelam dengan pemerintahan orde baru. Kasusnya, jurnalis dibunuh, intimidasi, dan lain sebagainya. Apalagi jurnalis Islam akan berhadapan dengan dunia barat yang serba materialisme, pragmatisme, hedonismu dan sikap-sikap lainnya. Seorang peserta didik yang sudah dibekali jiwa pers dalam dirinya akan bersikap hati-hati menggunakan bahasa, menjaga masyarakat Indonesia dari perpecahan,

Mengendalikan “Cengkeraman  Four Point Zero

Pribumisasi sastra dan pers di sekolah menjadi agenda utama pemangku literasi dalam memajukan negara dan bangsa Indonesia menjadi negara yang memiliki kualitas membaca yang tinggi dan memelihara Bahasa Indonesia agar tetap otentik. Karenanya, problematika paling krusial bangsa Indonesia adalah sulitnya menemukan orang yang suka berbagi ilmu dan pengetahuan dalam tulisan maupun diskusi yang dihidupkan di dunia sekolah. Maka, komunitas sastra yang ada di sekolah akan menggerakkan agenda tersebut dengan baik  dengan kajian kebahasaan di dalamnya.

Selain itu, generasi milenial harus peka bermedia sehingga bisa mereduksi segala bentuk adu domba dan fitnah. Hal ini membutuhkan pengetahuan tentang pers yang mumpuni yang digerakkan di dunia sekolah. Dengan aktif di pers, bahasa Indonesia akan selalu tersampaikan dengan baik ke masyarakat karena bahasa pers sejatinya menggunakan bahasa kehidupan sehari hari. Selain itu, tujuan pers memang mendidik masyarakat mengunakan sarana bahasa yang lembut dalam kehidupan sehari-hari sehingga dakwah dan nilai-nilai nasionalisme semakin menemukan ruang.

[1] Janeet Steele, Mediating Islam, Jurnalisme Kosmopolitan di negara-negara Musllim Asia Tenggara, (Yogyakarta: Bentang Pustaka, Cet.I, 2018), hlm, 17.

Artikel ini telah dibaca 17 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Politik Damai: Jalan Menuju Kehidupan yang Harmonis

21 November 2024 - 08:56 WIB

Politik dan Kemanusiaan dalam Pilkada Serentak

19 November 2024 - 11:09 WIB

Membangun Kehidupan Berbangsa Melalui Toleransi dan Keadilan

30 Oktober 2024 - 06:13 WIB

Radikalisme dan Upaya Pembentukan Desa Siaga sebagai Benteng Keamanan Nasional

30 Oktober 2024 - 05:55 WIB

Menilik Sejarah Radikalisme dan Terorisme di Indonesia

26 Oktober 2024 - 05:18 WIB

Radikalisme dan Tantangan yang Dihadapi Negara

26 Oktober 2024 - 05:06 WIB

Trending di Kontra Narasi