Oleh: Abdul Warits
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah, bacalah! dan Tuhanmulah yang Maha Mulia, Yang mengajar (manusia) dengan perantara pena, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.[1]”
Itulah ayat dalam Alquran yang menganjurkan tentang urgensi literasi kepada kita sebagai umat Islam. Tradisi literasi dalam Islam pertama kali diprakarsai oleh Nabi Muhammad SAW dalam pembukuan Alquran, dengan berdasarkan kepada beberapa alasan dan tujuan. Pertama, untuk mem-back up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Kedua, mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak dari hafalan para sahabat saja tidak cukup. Mereka terkadang lupa atau sebagian dari mereka yang hafal Alquran (Huffazul Quran) sudah wafat ketika perang Yamamah[2]. Untuk itu, para tawanan perang Badar yang pandai oleh Rasulullah SAW diminta untuk mengajar masyarakat Arab sebagai tebusan kemerdekaan diri mereka. Hal ini mengindikasikan bahwa Rasululullah sangat mendorong sahabat-sahabatnya untuk belajar baca tulis.[3]
Dalam sejarah etos literasi dunia Islam, khususnya abad pertengahan, telah menjadi ruh umat Islam untuk terus mengembangkan pendidikan dan pengkajian secara ilmiah. Sejarah pun mencatat lembaga-lembaga pendidikan yang sangat bermutu seperti Darul ‘Ilmi (akademi sains) dan Baitul Hikmah. Atmosfer literasi telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar seperti Ibn Shina, Al-Khawarizm, Ibn Rusyd, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, dan lain-lain.
Semangat anjuran perintah membaca terbaca hasrat membangun sistem pendidikan pesantren bermutu, tersembul rumusan visi edukasi yang jelas, terbayangkan tafsir tentang hadirnya seluruh potensi yang diproyeksikan untuk mempercepat kemajuan bangsa dengan menyiapkan sumber daya insani melalui pendidikan di pesantren[4]. Hari ini, di Indonesia, tradisi itu diwariskan kepada lembaga pendidikan Islam (Pesantren). Pesantren menjadi lumbung terbentuknya orang-orang yang cinta kepada budaya literasi. Seperti beberapa penulis dengan intelektual mendalam yang berhasil tumbuh dari kalangan pesantren adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Abd. A’la, D. Zawawi Imron, Sofyan RH Zaid, M. Faizi, Jamal D. Rahman, dan beberapa penulis lainnya yang tersebar se antero Madura, terutama daerah kabupaten Sumenep.
Oleh sebab itu, literasi adalah dunia membaca dan menulis. Tradisi ini sangat kental dengan dunia santri setiap harinya. Pada mulanya, literasi di dunia pesantren berawal dari tradisi oral[5]—sama dengan tradisi bangsa Arab di masa lalu—bersyi’ir dan melantunkan nadzam-nadzam alfiah, imriti, burdah, tarhim[6] dan lainnya menjadi rutinitas sejak matahari terbit hingga malam bertandang. Membaca ayat suci al-quran adalah tradisi pesantren yang digemakan hingga zaman globalisasi ini. Kemudian, dari apa yang mereka lantunkan berusaha untuk dihafalkan. Hal ini mempunyai korelasi dengan tradisi bangsa Arab pra-Islam. Banyak informasi pada periode pra-Islam dilestarikan oleh orang-orang Arab dalam bentuk puisi. Versifikasi (penggubahan Informasi menjadi sebuah puisi) akan membantu proses menghafal. Sama halnya dengan pesantren, beberapa kiai di Pondok pesantren[7] mengarang kitab dalam berbagai bentuknya. Misalnya, kitab berbentuk nazam, manuskrip, atau bahkan buku dan antologi menjadi kekayaan yang diejawahtahkan dari kapasitas keilmuan seorang kiai. Beberapa kitab dalam bentuk nazam itu kemudian diajarkan kepada santrinya agar mudah dipahami dan dihafal. Lalu, muncul dunia menulis dengan memaknai kitab kuning yang diajarkan oleh kiai di pesantren. Inilah salah satu keunggulan literasi pesantren—yang pada mulanya—berakar dari literasi Arab lalu dikembangkan hingga sesuai dengan tuntutan zaman.
Dalam memahami konteks zaman, pesantren berupaya untuk melebur ke dalam dunia literasi demi membentengi berbagai gerakan Barat (kaum orientalis) yang terkadang mendistorsi Islam sebagai agama yang buruk, keras, atau bahkan stereotipe negatif lainnya. Maka, untuk membentengi Islam dari berbagai virus tersebut, pesantren melakukan gerakan literasi dengan memperkokoh pemahaman umat Islam tentang agama dan segala yang melingkupinya (sosial, budaya, lingkungan). Pesantren mendirikan beberapa media yang bisa mereduksi gerakan itu. Media yang kini menjadi solusi paling ampuh adalah dunia cyber atau website. Berbagai website[8] dari pondok pesantren telah berhasil memposting kegiatan-kegiatan kepesantrenan sesuai dengan ajaran Islam yang penuh dengan kasih sayang dan perdamaian.
Pada perkembangannnya, pesantren berhasil dalam memahami perkembangan zaman dengan akulturasi dan filterisasi. Pesantren ingin menyesuaikan pengembangan keilmuannya agar tetap sesuai dengan tuntutan zaman. Sehingga pesantren menerapkan berbagai metode-metode pembelajaran kekinian yang menunjang terhadap tranformasi dan modernisasi pesantren. Karenanya, pesantren tidak lagi khawatir dalam menyikapi percaturan globalisasi kali ini.
Selain itu, banyaknya media bagi santri untuk menyalurkan beberapa karyanya seperti mading, selebaran,[9] buletin,[10] atau bahkan majalah[11] yang bisa menampung kegelisahan dalam tulisan-tulisan yang mereka ciptakan. Hari ini, tulisan yang ada di mading pesantren adalah seperti puisi-puisi muallaqat—yang pada masa lalu—digantung di dinding-dinding ka’bah. Selebaran dan buletin menjadi media kedua bagi santri dalam menunjukkan inpirasi dan kreasinya dalam berkarya. Tidak heran kemudian, jika mereka berani menunjukkan karyanya pada media-media nasional atau bahkan tercatat dalam buku-buku yang telah berstandar nasional.
Pada dasarnya, budaya literasi pesantren adalah aset besar dalam kemajuan peradaban bangsa ini. Kita bisa menjadikan peradaban literasi untuk mengukur kemajuan suatu bangsa. Jika peradaban literasi bangsa sangat baik, maka bisa dipastikan peradaban negara tersebut sangat unggul. Tentu bangsa ini sangat menaruh harapan besar pada pesantren, agar mampu mencetak penerus penulis hebat dengan merawat budaya literasi. Tentu merawat atau merevitalisasi budaya literasi di pesantren tidak semudah membalikkan tangan. Minimal harus dimulai dari kesadaran dari pengasuh (kiai) untuk memulai menulis dan asatizd (guru) yang akan menular ke santri (murid). Di samping itu, diiringi oleh lingkungan berbasiskan tradisi menulis dengan mengadakan pelatihan-pelatihan menulis dengan mendatangkan pemateri[12] yang telah menulis banyak karya yang mencerahkan dan mencerdaskan.[13]
Daftar Referensi
[1] Departemen Agama RI, Alquran Tafsir Perkata (Taggerang Selatan: Kalim, T, th), hlm, 598
[2] Rosihon Anwar, Ulumul al-Quran, (Jakarta: Jawa Barat, Pustaka Setia, 2008), hlm, 39
[3] Nur Efendi, Muhammad Fathurrohman, Studi Al-Quran, (Yogyakarta : Teras, 2014)., hlm 102.
[4] Abdul Gaffar, 2014, Revitalisasi Peradaban Literasi Pesantren – Harian Analisa.html. diakses pada tanggal 01 Mei 2018.
[5] Oral adalah bersangkutan dengan mulut, berkaitan dengan bunyi bahasa yang dihasilkan oleh udara yang seluruhnya melewati mulut. Lihat, KBBI-Offline, 1-4.
[6] Dzikir yang biasa dilaksanakan sebelum menunaikan shalat magrib, Isya’ dan Shubuh.
[7] Di Pondok Pesantren Annuqayah, beberapa kiai telah menunjukkan perannya dalam mengarang beberapa kitab gundul yang berbentuk nadzam. Salah satunya adalah K.Ilyas Syarqawi yang mengarang kitab Lubbul Aqidah dan Fiqhul Ibadah yang diformat dalam bentuk nazam.
[8] Di berbagai pesantren banyak sekali website yang bisa untuk kita akses seperti www.sidogiri.net , www.lubangsa.org, tebuirengonline, dan lain sebagainya.
[9] Terbitan tidak berjilid (tidak berkulit) yang disebarkan kepada umum, biasanya untuk mempropagandakan sesuatu. Lihat, KBBI-Offline, 1-4.
[10] Media cetak berupa selebaran atau majalah, berisi warta singkat atau pernyataan tertulis yang diterbitkan secara periodik oleh suatu organisasi atau lembaga untuk kelompok profesi tertentu. Lihat, KBBI-Offline, 1-4.
[11] Di pesantren Annuqayah daerah Lubangsa, penerbitan Majalah Muara memiliki anggaran khusus dari pesantren bagi para santrinya. Artinya, ketika Majalah Muara terbit, para santri akan kebagian untuk mendapatkan dan membacanya. Hal ini mengindikasikan bahwa Pondok Pesantren mengajurkan santrinya untuk membaca kemudian menulis.
[12] Dalam hal ini, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) setiap tahunnya menghelat Festival Cinta Buku (FCB) Nasional kepada seluruh masyarakat umum, khususnya santri Annuqayah. Festival ini sudah digelar hingga yang ke sepuluh (2018). Festival ini biasanya mendatangkan tokoh nasional seperti Agus Sunyoto, Acep Zamzam Noer, Seno Gumira Ajidarma, Ahmad Tohari dan tokoh Nasional lainnya.
[13] Abdul Gaffar, 2014, Revitalisasi Peradaban Literasi Pesantren – Harian Analisa.html. diakses pada tanggal 01 Mei 2018.