Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Suara Santri · 22 Agu 2023 20:00 WIB ·

Kesalahan Pola Pikir


 Kesalahan Pola Pikir Perbesar

Oleh : Sururi Nurullah

Baiknya kita sadari secara bersama bahwa manyoritas masyarakat Indonesia terlahir sebagai nelayan dan sebagian besarnya ialah petani. Asumsi demikian dapat dibuktikan dari asal mula kebiasaan berlayar serta bercocok tanam masyarakat pribumi di sawah maupun ladangnya dalam sejarah kerajaan sampai kolonial.

Laut yang kaya, juga tanah subur menjadi anugrah terbesar bagi segenap masyarakat Indonesia sendiri. Sehingganya bermacam tangkapan bintang laut beraneka ragam, sedangkan apapun tanaman akan tumbuh subur ditanah Indonesia. berbagai kerjaan berlomba-lomba ingin menguasai nusantara, bangsa kolialis-pun berambisi mengusai atau sampai memiliki tanah surga Indonesia ini, dari bangsa Spoyol, Portugis, Ingris, Belanda dan Jepang.

Namun, entah mengapa dari berbagai profesi masyarakat Indonesia sendiri, nelayan dan petani bukan menjadi sebuah profesi unggulan di negeri ini. Tapi, malah menjadi profesi yang begitu dijauhi, seakan hina bagi kalangan masyarakat pribumi. Sampai-sampai profesi nelayan dan petani tidak boleh terjamah oleh para anak muda generasi bangsa.

Sedangkan profesi pejabat pemerintahan, pekerja kantoran guru PNS dan berbagai hal lainnya yang sifatnya stuktural atau pejabat, malah begitu diutamakan. Profesi-profesi demikian seakan suatu kebanggaan membawah harkat martabat keluarga lebih baik.

Sebagai bukti kongkritnya saja, berbagai orang tua berlomba-lomba menyekolahkan anaknya demi mencapai profesi-profesi terebut. Meski dalam berbagai ungkapan mereka sangatlah bijaksana yakni, “saya tidak ingin, nasib anak sama dengan saya.”

Sehingganya kehidupan esok akan lebih cerah mungkin dalam ranah pekerjaan apabila menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Sebab sudah menjadi suatu sarat utama dalam mengapai profesi-profesi unggulan ialah dari adanya ijazah.

Seperti ketika seorang anak telah menuntut ilmu sampai kejenjang stata satu, dua atau sampai tuntas tiga, seorang anak malah menjadi keharusan tersendiri menjadi seorang yang berprofesi unggulan. Bukan malah menjadi nelayan dan petani. Apabila menjadi petani dengan menuntaskan jenjang-jenjang tersebut, maka menjadi seakan menjadi aib besar kegagalan diri.

Tak luputnya jadi cibiran orang dalam perbincangan di kalangan masyarakat. Seakan-akan sebuah pendidikan setinggi itu, tidak berguna dan tidak merubah apa-pun. Intinya anak tersebut tidak bisa merubah nasib dari keluarga.
Meski kebanyakan orang tua berpengatuan begitu bijak mejawab ketika ditanya tujuan menyekolahkan anaknya, “untuk membuatnya berilmu atau pitar dan berbudi pekerti baik,” adalah omong kosong belaka. Hal itu akan terbukti dengan sendirinya ketika telah lulusa dari jenjang-jenjang pendidikan.

Para orang tua begitu tampak dalam dirinya bakan pandangannya yang pragmatis. Jurusan dalam pendidikan menjadi pertanyaan pertama untuk mencari pekerjaan kala lulus nantinya.
Disanalah kesalahan masyarakat Indonesia dalam ranah mendasar berupa tujuan menyekolahkan anaknya.

Keluhuran dan harapan baik hanya sebatas ungkapan angin lalu yang begitu bijak saja. Seandainya ketika anak disekolahkan oleh orang tua dengan tujuan seluhur terbut, maka profesi nelayan dan petani bukan menjadi permasalahan bagi orang tua serta masyarakat. Malah menjadi sebuah kebanggaan atas anaknya bisa melanjutkan profesi asal, memperbaikinya dan mengembangkannya.

Maka tanpa disadari dampak dari kedaan demikian, menjadi tertanamnya pola pikir pada anak akan ambisi menggapai profesi unggulan dengan cara apapapun. Tanpa ada tujuan menggapi profesi itu ialah untuk memperbaiki atau melakukan hal yang lebih baik nantinya.

Imbasnya apabila profesi unggulan tercapai, maka lahirlah sifat materialis dengan sendirinya. Seakan semua hanya ingin menguntungkan diri sendiri, bukan kesejahteraan bersama.
Hal demikian mungkin begitu tampak ketika dibenturkan dalam problem korupsi yang tidak usai-usainya terjadi di jajaran pejabat pemintahan.

Berbagai solusi dan gerakan pemerintahan untuk mengatasi problem tersebut, seakan tidak ada gunanya. Pengungkapan pejabat atas problem tersebut, seakan tidak akan terjadi lagi di negeri ini, sebenarnya hanyalah utopia pejabat itu saja untuk menutup-nutupinya.

Seorang dari KPK saja, sebagai badan yang mengatasi korupsi, malah terkena kasus korupsi. Tentu darinya bagaimana bisa mengatasi problem dimikian bila badan yang tugas dan fuingsinya untuk itu, malah terlibat juga.

Oleh karenanya profesi unggulan dalam perspektif masyarakat haruslah diubah. Bukan lagi sorang yang bekerja kantoran, pejabat dan lainya, tapi profesi ungulan adalah pekerjaan tidak merugikan dan meresahkan orang lain. Sehinggnya membentuk iklim kebersamaan yang harmonis demi kesejahteraan bersama dengan ilmu yang diperoleh anak muda dan dukungan masyarakat.

Menjadi perlu bagi segenap orang tua pun ikut mendukung apa saja profesi anaknya tanpa adanya rasa malu atau rasa gagal dalam menyekolahkan anaknya, tapi orang tua merasa bangga atas berbagai profesi anaknya tersebut dengan ketentuan lagi-lagi tidak merugikan dan meresahkan orang lain. Lalu dari sanalah anak tidak akan merasa minder untuk mengerjakan profesinya menjadi lebih baik, menguntungkan dan mensejahterkan.

Layaknya profesi nelayan dan petani sendiri, menjadi profesi yang begitu dijauhi karena pekerjaan nelayan dan petani yang tidak pernah sepadan dengan perolehannya. Kalau nelyan mulai dari mengkap sampai menjual hasil tangkapan, sedangkan petani mulai dari menanam, merawat sampai akhirnya menjual hasil panen, tidak pernah sepadan walaupun sepadan tapi begitu lama dan menguras tenaga. Sehingganya tidak pernah salah satu-pun dari orang tua menginginkan profesi anaknya sebagai nelayan dan petani.

Sedangkan profesi kantoran atau pejabat hanya bekerja di gedung ber-AC dan mewah, tidak kotor dan tidak banyak menguras tenaga otot, bergaji banyak. Hal demikian begitu jelas terlihat dari petani tembakau.
Sudah menjadi problem dikalang masyarakat berprofesi petani tembakau, dimana selalu saja berbagai kerja kerasnya, seakan tidak pernah sepadan ketika telah panen dan menjualnya. Banyak terjadi adanya berbagai kerugian yang sampai menimbulkan hutang besar akibat anjloknya harga tembakau ketika panen.

Meski ada pula sebuah keuntungan begitu tinggi untuk petani tembaku, dimana kisaran hanya lima sampai enam orang saja dari puluhan petani tembakau. Kebanyakan petani tembakau malah bernasib rugi. Harga saja bukan dari penjual, tapi malah dari pembeli. Itulah sesautu yang pasti terjadi bagi para petani tembakau.

Seakan dinginnya pagi bukan penghalang bagi petani tembakau untuk pergi kesawah, serta bekerja dibawah teriknya matahari tidak pernah merasakan panas. Itulah perjuangan para petani tembakau dari proses menanam samapi panen nantinya. Tapi mengapa sampai kejadian serupa tidak pernah usainya dikalangan petani tembakau? Layaknya hanya pasrah cara tepat bagi mereka. Menerima keadaan tanpa adanya sebuah niatan perubahan. Darinya keadaan demikian adalah hasil dari tiadanya ilmu dan semangat perubahan sendiri, serta tidak adanya suatu promotor akan hal itu.

Seandainya sebuah anak muda yang berilmu dari jenjang pendidikan. Maka pasti kejadian terhadap petani tembaku bisa teratasi dengan perlahan dan pasti tiada lagi problem demikian lagi. Semua elemen dari masyarakat mendukung atas profesi petani dikalangan anak muda dan anak mudah bersemangat bereksplorasi sebagai petani tembakau yang patut menerima hasil keringat yang setimpal harga tembakau nantinya.

Sebab sesuatu perubahan lahir dari gerakan dan inovasi-inovasi, bukan dari suara sumbang orasi. Tapi karena pola pikir yang ditanam adalah menggapai profesi unggulan, layaknya pejabat, maka orasi saja menjadi gerakan para kaum muda.

Jika kaum muda tergerak atau berambisi menjadi petani, pastinya hidup seorang petani akan jadi hal yang selalu dilirik bagi segenap masyarakat. Perubahan yang begitu signifikan terjadi yakni dari mekanime menanam sampai panen, serta penjualan hasil panen tersebut.

Layaknya sudah banyak terlihat sekarang teraktor-teraktor bersiweran disawah, meringankan kerja seorang petani dari proses penanaman samapi panen. Tapi apakah teraktor-teraktor itu produk anak muda bangsa? Tentunya tidak. Segala hal berbau petani jadi hal yang nista.

Seandainya pandangan itu hilang sejak dahulu, maka pemikiran akan teraktor sekarang itu, telah lahir di otak-otak anak muda bangsa.

Lebih lanjutnya pada pejualan hasil panen petani yang salah, akan teperbaiki oleh trobosan baru para anak muda terdidik. Layaknya kesalahan penati tembakau yang sesalu mengalami kerugian penjualan hasil panen.

Hal itu timbul karena adanya penaman secara bersama sekaligus bersekala besar. Menjadikannya pembeludakan hasil panen terhadap pembeli. Sehingganya hasil panen membeludak tersebut menjadikan para pembeli hasil panen tersebut tidak sepadan dengan penjual hasil panen petani, menjadikannya harga bukan jadi milik petani tapi milik pembeli.

Itulah kesalahan para petani tembakau yang tidak kunjung disadari dan diatasi.
Sebenarnya kesadaran itu telah terbaca lama oleh kaum muda bangsa, tapi mereka engan untuk memperbaiki hal tersebut secara turun langsung terhapa petani. Berprofesi petani lebih tepatnya. Tapi malah berkoarkoar menyuarakan pendapatnya meminta kebijakan dari para pejabat pemerintahan, yang itu-pun juga adalah ambisi menarik perhatian untuk menggantikannya pjabat sekarang. Mengapa hal itu terjadi? Lagi-lagi lahir dari pola pikir profesi unggulan. Salah satu upayanya adalah dengan demikian.

Jika sebuah kesalahan tersebut langsung diatasi oleh anak bangsa dengan langsung berprofesi petani, pastinya ada sebuah gerakan pembaruan dari mereka, bukan lagi sebuah konsepsi semata yang lkadang tidak selaras atau pas dengan realita. Tapi seandainya langsung berprofesi peni pasti akan benar-benar sebagai hal baru untuk perbaikan kini maupun nanti.

Layaknya tergerak membentuk perkumpulan petani tembakau, dimana nantinya dapat mengatur jalannya penjualan tidak membeludak, sehingganya harga masih dalam tangan petani bukan lagi pra pembeli. Juga bisa dengan trobosan pengelolahan mandiri hasil panen tembakau tersebut, menjadi suatu produk tersendiri yang nantinya dapat diperjualbelikan oleh petani. Sehingganya keuntungan bagi petani lebih besar perolehannya, serta dapat memberikan suatu hal baru bercirikhas.

*Santri Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa

Artikel ini telah dibaca 34 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Mewujudkan Demokrasi Sehat Melalui Pilkada Serentak

23 November 2024 - 08:59 WIB

Santri Sebagai Pilar Perdamaian di Dunia Perpolitikan

21 November 2024 - 09:10 WIB

Bahaya Politik dan Pertumpahan Darah, Bagaimana Solusinya?

19 November 2024 - 11:42 WIB

macam-macam darah wanita

Peran Santri dalam Membangun Generasi Emas Indonesia

17 November 2024 - 12:42 WIB

Dari Keraguan ke Keyakinan: Menemukan 7 Rahasia Kekuatan Pribadi dalam Diri

16 November 2024 - 10:11 WIB

Menakar Efektivitas Pemberdayaan Sistem Koperasi dalam Program “Solusi Nelayan”

11 November 2024 - 14:43 WIB

Trending di Suara Santri