Santrikeren.id– Kemenag Sumenep bekerja sama dengan RMI PCNU Sumenep menggelar kegiatan halaqah pesantren ramah anak bertajuk “Revitalisasi Peran Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan dan Lembaga Pengasuhan yang Ramah Anak” di Aula Kemenag Sumenep ini, Selasa (30/4/2024).
Kepala Kemenag Sumenep, KH Abdul Wasid mengatakan dalam sambutannya bahwa dirinya menyayangkan isu publik yang menggeneralisir bullying dan kekerasan yang seolah-oleh terjadi di seluruh pesantren. Bagi Wakil Ketua PCNU Sumenep itu, generalisasi tersebut memberi pengaruh negatif kepada masyarakat sehingga enggan memondokkkan anaknya ke pesantren.
Diceritakan, ia pernah bertemu dengan orang yang tidak mau anaknya di mondokkan di pesantren. Ketika ditanya, ternyata ia terpengaruh terhadap isu tersebut. nDijelaskan, tidak ada lembaga pendidikan di Indonesia yang bertanggung jawab kepada siswanya selama 24 jam. Pelayanan 24 jam itu hanya ada di pondok pesantren.
“Ketika santri tidak ada di asrama, di madrasah, masjid, santri dicari hingga sampai ke kamar mandi. Jika tidak kerasan, mengalami kesulitan dalam belajar, dan sebagainya, santri akan dibimbing oleh pengurus. Pelayanan yang diberikan kepada santri adalah kepedulian pengasuh dan pengurus,” ungkapnya.
Halaqah ini dihelat untuk mengembangkan pesantren lebih baik lagi dan ramah kepada anak, mencegah kasus bullying ataupun kekerasan di pesantren dan santri lebih betah di pesantren.
Mantan Sekretaris PC GP Ansor Sumenep ini menegaskan, kasus bullying dan kekerasan tidak hanya terjadi di pesantren, tapi semua lembaga pendidikan. Di luar pesantren pun, kasus ini pernah dialami oleh anak.
Untuk meminimalisir kasus tersebut, dibutuhkan partisipasi banyak pihak. Misalnya pengasuh membuat aturan yang bisa mengantisipasi kasus itu tanpa mengerdilkan kreativitas santri, serta didukung peran guru dan pengurus.
Sebagaimana yang lumrah di lapangan, hanya pengurus yang tahu santri, mulai dari A sampai Z. Hanya pengurus yang tahu santri yang bersembunyi di kamar mandi, membangunkan tidur, dan lain sebagainya.
Baginya, pelayanan yang diberikan pengurus adalah pahalanya luar biasa. Kendati porsi belajar pengurus tidak seoptimal santri lain. Kepedulian, kesabaran, keistiqamahan dalam memberikan layanan kepada santri, membawa mereka kepada jalan keberkahan.
Dinamika pesantren adalah tantangan bagi pengurus yang harus dibarengi dengan kebijaksanaan saat menghadapi santri milenial yang beragam dan memiliki latar belakang.
Tak hanya itu, ia mengimbau kepada pengurus pesantren agar memperhatikan etika ta’zir. Pasalnya santri zaman now dan santri zaman old mentalnya berbeda. Ia berharap, keberadaan konselor dijadikan tempat Curhat dan konsultasi santri, dan pengurus BK memberikan solusi dikala santri sedang oleng jiwanya.
Sementara itu, Ketua PCNU Sumenep, KH A Pandji Taufiq mengatakan bahwa pesantren bukan sekedar tempat belajar, akan tetapi pesantren tempat membangun jiwa dan hati yang bersih. Dilibatkannya pengurus pesantren dalam acara ini, untuk membicarakan teknik komunikasi yang baik dengan santri agar pesantren menjadi tempat yang nyaman bagi santri.
Ia mengibaratkan santri seperti pasien. Jika pasien di rumah sakit adalah pasien yang sakit fisik. Sementara pesantren, pasien dibersihkan hatinya.
Dengan lantang Kiai Pandji menyatakan, pesantren dan sekolah memiliki perbedaan. Diakui, sekolah memberikan mata pelajaran akhlak. Namun perbedaannya dengan pesantren adalah pengasuh dan pengurus mengedepankan hati agar santri memiliki hati yang bersih. ilmu adalah alat membersihkan hati manusia.
Dirinya menjelaskan, RMI adalah departementasi yang dibentuk NU untuk mengembangkan pondok pesantren, pendidikan keagamaan, dan keumatan. Menuritnya, RMI adalah jantungnya NU. Bila jantungnya bagus, maka NU akan baik.
“Jika tidak ada pesantren, tidak mungkin ada negeri ini. Kalau tidak ada pesantren, tidak ada Kemenag. Kemenag adalah hadiah bagi orang-orang pesantren,” pungkasnya.