Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Kontra Narasi · 9 Mei 2024 22:29 WIB ·

Asal Usul Sekte-Sekte dalam Islam


 Asal Usul Sekte-Sekte dalam Islam Perbesar

Oleh : Abdul Warits

Munculnya firqah dalam Islam ditengarai dari peristiwa arbitrase (tahkim). Abdul Karim Zaidan menjelaskan bahwa definisi tahkim adalah pengangkatan atau penunjukan secara suka rela dari dua orang yang bersengketa akan seorang yang mereka percayai untuk menyelesaikan sengketa antara mereka.[1] Orang Syria dari golongan Muawiyah bersepakat bulat untuk memlih ‘Amr ibn al-’Ash , sebagai perunding (arbiter) dari pihak mereka. Dari pihak Ali, khalifah Ali menginginkan Abdullah ibn Abbas, tetapi ditolak oleh pasukannya. Ia kemudian mengusulkan lagi Al-Asytar, juga ditolak pasukannya. Suara terbanyak di antara pasukannya memilih Abu Musa al-Asy’ari, walaupun Ali tidak menginginkan Abu Musa, tetapi terpaksa menerimanya, karena dia telah dipilih oleh suara terbanyak.[2]

Arbitrase adalah usaha mewujudkan perdamaian konflik politik antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sofyan, setelah khalifah Utsman bin Affan terbunuh, karena kedua pimpinan politik itu menklaim dirinya sebagai yang paling berhak atas kepemimpinan umat. Ali sebagai khalifah yang legal menantang Muawiyah sebagai pembangkang yang harus diperangi, demikian sebaliknya, Muawiyah memandang Ali terlibat dalam pembunuhan Utsman dan berada di belakang pemberontak karena tidak mau menghukum para pembunuh Utsman. Karena itu kepemimpinan Ali tidak wajib ditaati.[3]

Arbitrase yang dilaksanakan sebagai usaha mewujudkan perdamaian konflik politik antara khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sofyan, ternyata merupakan awal timbulnya sekte-sekte dalam Islam. Sebab, dampak dari arbitrase bukan hanya menyangkut masalah politik, tetapi juga menyentuh persoalan teologi.

Dalam masalah teologi, ketika itu para teolog membicarakan, apakah mereka yang terlibat dalam arbitrase masih tetap mempunyai aqidah Islam yang benar atau mereka telah murtad atau bahkan kafir. Sekte Sunni berpendapat bahwa arbitrase adalah arena musyawarah politik, maka mereka menyatakan bahwa mereka yang terlibat di dalamnya masih tetap Islam tidak murtad atau kafir. Sebaliknya, sekte Khawarij berpendapat arbitrase tidak berdasarkan syari’at Islam, mereka mengklaim bahwa semua orang yang ikut dalam musyawarah tersebut adalah kafir. Sementara sikap sekte Syi’ah yang dilatarbelakangi oleh doktrin kemaksuman imam dalam berbagai tindakan hukum, tidak mengutuk tindakan Ali waktu terjadi arbitrase.

Menurut Ahmad Syalabi, peristiwa dan pelaksanaan arbitrase itu menguntungkan pihak Muawiyah, sebab dengan diterimanya arbitrase oleh pihak Ali, sudah menimbulkan perpecahan di dalam pasukan Ali. Muatan isi dari arbitrase ini adalah sebagai berikut :

  1. Hasan menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah dengan syarat Muawiyah harus berpegang teguh pada kitabullah dan Sunnah Rasul serta sirah khalifah – khalifah yang saleh.
  2. Muawiyah tidak akan mengangkat seseorang menjadi khalifah sesudahnya dan persoalan khalifah sesudahnya menjadi urusan umat Islam.
  3. Jaminan keselamatan diri dan harta semua orang. Muawiyah yang menyetujui syarat-syarat yang diajukan Hasan, datang ke Kufah untuk menerima baiat dari Hasan dan penduduk Kufah. Dan Muawiyah kini resmi menduduki jabatan khalifah. Tahun itu (661 M/41 H) disebut tahun persatuan, oleh karena umat Islam bersatu di bawah pimpinan seorang khalifah.

Menurut Sunni khalifah merupakan masalah furu’ dalam agama, bukan masalah mendasar dari syari’at. Oleh karena itu, untuk memenuhi tuntutan masalah furu’ cukup dengan mengadakan ijma’ dari umat bagi pembentukan khalifah. Lebih lanjut pemuka Sunni mengemukakan dalam al-Qur’an dan al-Hadits tidak mengisyaratkan secara tegas tentang pendirian institusi khalifah, artinya tidak ada ketentuan nash yang mengharuskan pembentukan khalifah.[4]

Referensi

[1]Abu al-Ainaini Abdul Fattah Muhammad, Al-Qadha wa al-Itsbat fi al— Fiqh al-Islami, sebagaimana yang dikutip oleh Satria Effendi M. Zein, Arbitrase dalam Syari’at Islam, (Majalah Jurnal Hukum Islam, No. 16. Thn. V, 1994), hlm, 53.

[3] Al-Thabari, Tarikh al-Thabari, Juz. IV, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1963), hlm, 55-57.

[4]Dr. Syamruddin Nasution, M.Ag, Arbitrase menjadi penyebab timbulnya sekte-sekte dalam Islam, (Riau:Yayasan Pusaka, 2011), hlm,09.

Artikel ini telah dibaca 14 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Politik Damai: Jalan Menuju Kehidupan yang Harmonis

21 November 2024 - 08:56 WIB

Politik dan Kemanusiaan dalam Pilkada Serentak

19 November 2024 - 11:09 WIB

Membangun Kehidupan Berbangsa Melalui Toleransi dan Keadilan

30 Oktober 2024 - 06:13 WIB

Radikalisme dan Upaya Pembentukan Desa Siaga sebagai Benteng Keamanan Nasional

30 Oktober 2024 - 05:55 WIB

Menilik Sejarah Radikalisme dan Terorisme di Indonesia

26 Oktober 2024 - 05:18 WIB

Radikalisme dan Tantangan yang Dihadapi Negara

26 Oktober 2024 - 05:06 WIB

Trending di Kontra Narasi