*Ach. Rofiq
Sejak seminggu terakhir, setelah kuumumkan di pasar bahwa aku akan mengikuti audisi menyanyi di Jakarta, tiba-tiba saja banyak warga yang mendatangi rumahku. Mereka memberiku sebongkah batu tawas yang dibungkus plastik: sama seperti yang diberikan ibu padaku sejak dulu.
Kalau dihitung-hitung, batu tawas yang kuterima dari mereka sudah mencapai lima puluh bongkah, kutaruh di dalam ember sampai tidak muat. Padahal, aku tak pernah meminta dan aku sama sekali tidak membutuhkannya, sungguh! Buat apa batu tawas? Apa bisa dimasak? Apa bisa dijadikan jus agar suaraku semakin bagus? Atau, apa bisa dihaluskan lalu dijadikan bedak agar wajahkuku semakin cantik dan mulus? Huh! Ada-ada saja seja mereka! Eits, tunggu, tunggu, apa jangan-jangan….?
Aku mulai menaruh curiga: jangan-jangan, mereka iri karena tidak memiliki suara bagus dan merdu sepertiku. Batu tawas itu barangkali sudah diberi jampi-jampi atau mantra-mantra jahat agar suaraku menjadi jelek sehingga tidak lolos audisi. Atau jangan-jangan, batu tawas itu mereka jadikan perantara untuk mengirimkan sihir kepadaku, agar aku mati, agar aku tidak mengikuti audisi. Kukira, mereka tidak senang jika nanti aku sukses menjadi artis tekenal yang memiliki suara emas, yang manggung di mana-mana, dan yang banyak penggemarnya.
Martini, misalnya, dia adalah tetanggaku yang juga hobi menyanyi. Namun, harus kuakui, suaraya seperti bunyi knalpot motor tua yang sudah puluhan tahun tidak diganti oli. Beda dengan suaraku yang memang pada faktanya terdengar syahdu, di telingaku. Tak ada yang bisa menandingiku, siapa pun itu.
Memang, beberapa bulan yang lalu, saat lomba agustusan, Martini berhasil memenangkan lomba menyanyi di kecamatan. Tapi, itu karena Martini curang! Aku yakin, Martini menyogok para dewan juri dan lebih-lebih penontonnya juga. Masak iya, saat aku tampil, seluruh juri dan penonton tertawa terpingkal-pingkal dan menyuruhku untuk turun. Padahal, sudah kukatakan di awal, suaraku sangat bagus dan merdu. Seluruh juri dan penonton aku yakin telah dibayar oleh Martini agar, saat aku mulai menunjukkan kobolehanku, mereka semua dengan terpaksa harus tertawa. Sebenarnya, mereka ingin sekali bertepuk tangan sekencang-kencangnya karena terpukau pada suara emasku. Tapi, mereka sudah dibungkam oleh uang. Huh! Uang memang sangat memesona dan membikin buta. Sebab itulah, Martini menang mudah karena memang, saingan paling terberatnya adalah… siapa lagi kalau bukan aku? Si pemilik suara paling bagus dan merdu. Intinya, aku gagal memenangkan lomba itu karena dicurangi, bukan karena suaraku tidak bagus. Ingat itu!
Aku mengadukan kejadian yang menimpaku itu pada Pak RT. Namun, Pak RT sama sekali tidak menggubrisku, ia hanya tertawa kecil dan menggeleng-gelengkan kepala. Parahnya, Pak RT malah diam-diam menutupi hidungnya. Dikiranya aku bangkai apa? Padahal, hidungku tidak mencium aroma-aroma tidak sedap dari tubuhku. Huh, Sungguh, aku sangat kesal! Orang-orang di kampungku sudah tidak lagi waras cuma gara-gara iri denganku karena sebentar lagi akan jadi artis terkenal. Itulah tabiat manusia: berat hati bila melihat orang lain senang. Tapi, tak apa, aku harus tetap tegar. Tarik napas, hembuskan perlahan, elus dada pelan-pelan, dan saatnya membuktikan pada mereka bahwa aku bisa. Biarkan saja nanti kalau aku sudah sukses mereka semakin iri padaku. Aku tidak peduli, biarlah mereka mati sebab digerogoti rasa iri.
Nanti, ke Jakarta, aku akan mengajak ibuku. Akan kubuat bangga dia padaku. Saat pulang, yang pastinya sudah membawa tiket lolos ke babak selanjutnya dan akan tampil di salah satu stasiun televisi, aku akan mengundang ratusan geng motor untuk berkonvoi dalam rangka menyambut kedatanganku. Aku juga akan mengadakan konser kecil-kecilan di lapangan bola, sebelah barat rumahku, agar orang-orang bisa puas mendengarkan merdunya suaraku. Ah, akan seru sekali pastinya.
Pagi-pagi sekali, setelah puas bernyanyi di kamar, aku tidak langsung mandi, ya, aku memang jarang mandi, palingan cuma seminggu sekali. Dan, jangan ditanya lagi, badanku menurutku tetap wangi dan kulitku juga tetap putih bersih. Aku langsung pergi ka kandang sapi untuk menyampaikan kabar gembira pada ibu bahwa aku akan mengajaknya ke Jakarta untuk menemani sekaligus menyemangatiku ikut audisi.
Sambil berjalan, aku tak henti-hentinya bernyanyi. Orang-orang yang berjumpa denganku menatapku sinis sambil tertawa kecil. Dan, lagi-lagi, mereka diam-diam menutup hidung. Huh, aku sudah paham dan tak usah ditanya lagi: mereka iri!
Sebelum sampai di depan kendang sapi, tiba-tiba aku urung. Sebab, Martini sedang ada di sana: berbincang-bicang dengan ibu. Aku curiga, Martini juga akan menyogok ibuku agar tidak membolehkanku ikut audisi. Huh, dasar! Kuhentikan langkah kakiku, kuhentikan mulutku yang sedari tadi mubazir mengeluarkan suara merdu. Aku ngumpet ke samak-semak. Ayam-ayam, burung-burung, dan hewan lainnya yang berada di sekitar tempat persembunyianku, tiba-tiba lari berhamburan, salah satunya ada yang pingsan. Dan, lagi-lagi, sudah kuduga: tak hanya manusia, hewan-hewan pun iri!
“Sebenarnya, aku tidak begitu masalah jika anakku ikut audisi.…”
Apa? Benar dugaanku, Martini telah menyogok ibuku agar aku digagalkan ikut audisi. Dasar, perempuan licik!
“Toh, meskipun suaranya seperti… ya, tahu sendiri lah, bagaimana suara anakku.”
“Pasti enak,” batinku dengan sangat percaya diri. Dan memang kenyataannya begitu, tidak usah diragukan lagi. Meskipun ibu tak pernah bilang kepadaku bahwa suaraku bagus, tapi aku sudah yakin, dalam lubuk hati ibu yang paling dalam, sebenarnya ibu ingin memuji suaraku. Namun, ibu malu, atau, baragkali gengsi karena keturunannya tidak sama dengannya: aku memiliki suara yang bagus, sementara ibu tidak.
Martini cuma mengangguk-angguk. Eits, tunggu-tunggu, aku melihat di saku daster Martini ada sebuah gundukan yang tak terlalu besar. Oh, aku yakin, itu pasti setumpuk uang yang akan diberikan pada ibu agar aku tidak dibolehkan ikut audisi. Atau, nanti Martini akan menyuruh ibuku agar merayuku untuk menggunakan batu-batu tawas yang kuyakini ada jampi-jampinya itu. Agar apa? Pasti agar suaraku jadi jelek, wajahku juga jadi jelek, dan, atau barangkali badanku bau seperti bangkai. Huh! Jahat sekali perempuan itu! Awas saja nanti!
“Tapi, bau ketiaknya itu yang bikin orang-orang enggan mendekat dengan anakku. Bagaimana bisa ikut audisi menyanyi? Yang ada, dewan juri akan pada lari. Makanya, aku selalu memberinya batu tawas agar dipakai sehingga ketiaknya tidak bau seperti itu.”
“Nah, maksud kami juga seperti itu, Bu!”
“Dan satu lagi, sebenarnya aku sangat sedih dengan keadaan anakku yang tidak seperti orang-orang biasanya. Sejak ayahnya meninggal, kejiwaan anakku mulai terganggu, ia sering menyanyi tidak jelas, karena memang, ayahnya sejak dulu mengiginkan anakku menjadi peyanyi. Anakku jarang sekali untuk sekadar membersihkan diri. Doakan ya, Nak. Semoga anakku lekas pulih.”
“Amin, Bu!”
Apa?! Pandanganku gelap.
Annuqayah, Desember 2022.
*Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah dan alumnus MA. Nay’atul Muta’allimin, Gapura Timur, mantan Pustakawan PPA. Lubangsa. Saat ini aktif di Komuntas Persi, LPM Fajar Instika, Lubangsa Media, Pers Ikstida, Pers Genius, Pers & Media Rayon Hizbullah Huda PMII Komisariat Guluk-Guluk serta Ikatan Alumni Nasy’atul Muta’allimin (IANAS) Annuqayah. Cerpen-cerpennya banyak dimuat di media cetak atau digital. Terbaru, cerpennya berhasil dimuat di Suara Merdeka dan Kompas.id. Sekarang masih menggarap buku kumpulan cerpen perdanya. Masih bermimpi untuk diundang ke acara Makan Malam Jamuan Kompas. Bisa dihubungi di surel: [email protected].