Menu

Mode Gelap
Santri: Bukan Hanya Cadangan Pesantren, Tetapi Juga Cadangan Pemerintah Cyberbullying: Ancaman Tersembunyi Di Era Digital Mengenal Peran Duta Damai Santri Jawa Timur Blokagung Bersholawat Berhasil Kobarkan Semangat Para Santri

Ruang Seni · 15 Des 2022 14:04 WIB ·

Dias, Kisah yang Terlupakan


 Dias, Kisah yang Terlupakan Perbesar

Oleh: Muallifah

Hujan yang turun hari ini tak menyurutkannya tuk berangkat ke madrasah. Baginya hujan hanya titik air yang bukan menjadi penghalang besar. Sudah menjadi biasa seperti musim-musim sebelumnya. Air hujan mengalir menyusuri anak sungai. Menjadi sebuah oase bagi penikmat kehidupan.

Hujan tak kunjung reda. Dias pun memberanikan diri berangkat menyibak titik-titik air yang sangat deras dari mata langit menampar bumi Tuhan. Tasnya iaa bungkus memakai kantong plastic berwarna hitamyang cukup besar. Ia berlari untuk mengurangi basah air hujan yang mengenai seragam putihnya yang sudah lusuh. Dan dari kejauhan tampak seorang gadis, badannya kurus, kecil dan warna kulitnya sawo matang.

“Dias…..” Panggilnya dari kejauhan.

Dias mencari asala suara yang memanggilnya. Dan ia terpaksa menghentikan langkahnya. Seketika matanya yang ranum bertemu dengan matanya yang sipit. Ia juga tengah memandang kepadanya.

“Ris……” Panggil Dias juga. Seraya melambaikan tangannya kearahnya. Riris lari menghampirinya.

“Dias, kemarin kamu ditanya pak Rohan” Sergah Riris.

“Terus kamu jawab apa Ris?” Tanay Dias, sambil mengusap air hujan yang memenuhi wajahnya.

“Ya…aku jawab saja gak tahu” Ucap Riris polos. Sejurus senyumpun terukir di bibirnya.

“Alhamdulillah… terimakasih Ris…..”

Kedua sahabat itupun berangkat menembus hujan yang turun semakin deras. Baju mereka basah kuyuptak dpat diselamatkan oleh terpaan air hujan yang jatuh dair atas langit. Mereka berlari secepat mungkin menyibak rerumputan yag tertutupi air setinggi mata kaki. Satau jam kemuadian mereka samai disebuah bangunan yang terlihat bersih dan rindang. Namun, dindingnya sudah sudah memudar kekuningan. Dan di bagian tembok yang lain retak-retakdan bahkan bolong sana-sini. Mereka mengibas-ngibaskan baju lengannya yang basah. Ketika mereka memeras-meras baju mereka agar tersa ringan di badan, tiba-tiba seseorang berbadan tegap, tinggi semampai dan berkumis tipis di atas bibirnya memandangi mereka. Beliau adalah kepala sekolah baru setahun lalu. Pak Rohan.

“Kenapa kalian baru datang ?” suaranya terdengar tegas namun ia tidak marah.

“Anu pak…Anu…hujannya deras sekali” Ucapa Riris tanpa rasa takut. Karena memang kondisinya seperti itu.

“………………..” Dias hanya diam. Karena itu bukan alasan yang tepat baginya. Jadi, ia hanya memilih menundukkan kepala.

“Ya sudah. Untuk saat ini bapak maklumi. Sekaang cepak masuk ke kelas, pelajaran sudah dimulai setengah jam yang lalu” Ucap Rohan tegas. Seraya memandangi wajah mereka yang masih tampak bulir air hujan melekat diantar lubang pori-pori. Dias dan Ririspun beranjak dari hadapannya.

“Dias, pak Rohan ternyata galak juga ya?” Celetuk Riris tiba-tiba.

“Hm….m…aku gak komentar soal itu! Karena memang kita yang salah. Mendengar jawaban Dias raut wajah Riris tampak cemberut dan kecewa. Karena jarang sekali Dias mengiyakan pendapatnya.

###

Pagi, ketika jarum jam mengarah ke titik yang menunjukkan pukul setengah tujuh, semua siswa dan siswi mulai dari kelas satu samai kelas enam yang berjumlah empat puluh orang berkumpul di lapangan yang tidak cukup luas dan dipenuhi rerumputan liar sejauh mata memandang. Cuaca pagi sanagt bersahabat. Sebentar lagi kepala sekolah akan memulai acara motivation  rutin yang dilakukan setiap seminggu sebelum ujian.

“Baik anak-anakku semuanya! Silahkan merapat ketengah lapangan!” Perintah pak Rohan dengan tegas melalui pengeras suara berbentuk kotak berwarna putih lusuh. Itu TOA bekas yang dibelinya setengah tahun yang lalu, hasil dari sumbangan wali murid. Dan dua siswi yng ditugas untuk menjadi pemandu acara maju. Pukul tujuh tepat acara dimulai.

“Anak-anakku sekalian! Yang saya cintai, para generasi bangsa! Satu minggu lagi kit sudah memasuki waktu ujian. Jadi, bapak harap kalian lebih giat lagi belajar. Karena tanpa belajar mustahil seseorang akan menjadi besar. Seperti yang dikatakan oleh seorang ilmuan besar dunia Albert Einstein,”Aku bukanlah orang yang jenius, atau memiliki kecerdasan khusus. Tapi, kau hanyalah orang yang penasaran dan memiliki rasa ingin tahu yang besar”. Tanyakna lagi pelajaran yang belum kalian fahami……” Sebelum Rohan sempat melanjutkan perkataannya fokusnya buyar ketika melihat seorang siswi datang terlambat dan langsung memasuki barisan yang lain. Dia Dias. Tanpa menegurnya pak Rohan melanjutkan pembicaraannya. “ kenapa anak itu selalu telat?” Gumamnya dalam hati.

###

            Senja mulai merekah diperaduannya. Sedikit lagi Dias menyelesaikan pekerjaan yang ia lakukan setiap sore. Selepas pulang sekolah, seperti biasa ia langsung nyapu di bagian kebun belakang madrasah yang penuh dengan guguran-guguran daun cemara. Ia akan selalu ingat pesan ayahnya. Ddengan rutin ia melakukan pekerjaan ini setiap hari. Jiak teman-teman seusianya sibuk bermain, maka ia hanya menghabiskan waktunya sepanjang sore dengan menyapu kebun madrasah. Sebelum berangkat ke madrasah ia tidak lupa selalu izin kepada ayah dan ibunya. Sebenarnya ia merasa keberatan meninggalkan mereka berdua terutama ayahnya. Setiap sore ia harus selalu pulang telat. Menurutnya ini adalah bagian pengabdian dirinya kepada gurunya.

“Sedang apa kamu di sini nak?” Tanya pak Rohan yang kebetulan belum pulang. Karena ada rapat mingguan bersama para guru sebagai bentuk evaluasi pembelajaran selama satu minggu.

Mendengar suara kepala sekolah yang tegas itu, ia pun mnoleh kaget, seraya melepas sapu yang yang dipegangnya. Tanpa ia sadari angin menebarkan  kembali daun-daun yang sudah terkumpul. Kebun belakang madrasah kotor kembali.

“……………..” Dias kebingungan, terpaku hendak menjawab apa.

“Nak, sudah sore, kenapa kamu belum pulang? biar anak-anak yang piket besok yang membersihkannya”. Saran pak Rohan. Beliau rasa ada yang aneh dengan anak ini. selain sering terlambat masuk kelas, beberapa hari ini ia juga sering melihatnya dia di kebun belakang madrasah.

“Sebaiknya kamu segera pulang, sebentar lagi langit mulai petang”. Jelas pak Rohan.

“Baik pak” Ia segera pergi dan menghilang dari pandangan pak Rohan. Karena ia merasa sepertinya beliau sudah mulai mencurigainya.

###

Malam menjemput siang. Angin malam menghembus dingin menyusup kulitnya. Pak Rohan tengah santai menikmati kopi panas di serambi rumahnya. Terpaksa ia pun memanggil istrinya meminta tolong untuk dibawakan jaket kulit yang biasa kenakan ketika ia pergi ke madrasah.

“Sini bu, ada yang ingin bapak bicarakan” Ibu Sulis duduk disarming suaminya yang tengah menyeruut kopi panasnya.

“Ada apa toh pak, ini sudah malam….” Bujuk bu Sulis.

“Sebentar bu….” Pinta pak Rohan. Dia agak bingung ingin memulai pembicaraannya dari mana.

“Begini bu, di sekolah ada seorang anak yang aneh. Namanya Dias. Kata wali kelasnya dia termasuk anak yang pintar dan rajin. Tapi anehnya, hampir setiap hari ia ia terlambat ke sekolah. Dan yang guru-guru kagumi, walaupun ia sering telat dan selalu ikut setengah pelajaran, ketika ia ditanya pasti bisa jawab. Perlu ibu tahu kalau beberapa hari ini bapak selalu melihatnya bersih-bersih di kebun belakang madrasah. Untuk masalah ini belum bapak ceritakan ke siapa-siapa. Karena bapak masih menginginkan keastian dari pemecahan masalahnya. Kalau menurut ibu gimana?” Tanya pak Rohan di akhir kalimatnya.

Ibu sulis mengusulkan untuk mennyakan langsung kepada anak yang bersangkutan. Tapi pak Rohan tidak menyetujuinya. Apalagi setiap ia bertemu dengannya, pasti ia selalu menghindar dan pak Rohan merasa tidak enak sendiri.

“Kalau masalah itu salah bapak mungkin bapak terlihat menakutkan anak-anak. Biasanya kalau sekolah kan terkenal garang. Apalagi melihat kumisnya bapak tuh!!!” Canda bu Sulis sambil terkekeh. Tapi pak Rohan tidak menanggapi lelucon instrinya yang ia anggap konyol itu. Akhirnya pak Rohan belum menemukan jawaban masalah didiskusi malam itu bersama istrinya.

###

Hari kamis, pak Rohan sengaja pulang agak sore. Ia menanyakan suatu hal kepada Dias. Seperti yang diusulkan istrinya tempo lalu. Sore itu ia dengan sengaja melawati kebun belakang madrasah yang rindang dengan pohon cemara. Pohon cemara itu adalah pemberian dari pak bupati sebagai langkah penghijauan yang dimulai dari sekolah-sekolah dasar agar dapat menanamkan rasa cinta lingkungan yang asri kepada para siswa dan siswi. Setelaj hampir mendekati kebun belakang pak Rohan memelankan langkahnya suaya tidak menciptakan kebisingan dan lagi akan mengagetkan Dias. Namun sore itu suasana kebun sunyi dan lengang. Di sana hanya terdengar kicauan burung pipit yang bertengger di dahan pohon cemara. Dan halamat juaga tampak kotor.

“Kemana anak itu?” Lirih pak Rohan. bertanya-tanya. Matanya menyapukan pandangan ke seluruh sudut kebun tak seorang pun terlihat di sana. Kebun belakang tampak kotor dengan rimbun daun pohon cemara yang jatuh menguning. Jalan akhirnya ia menanyakan kepada kepada Pak Rizki, dia adalah wali kelasnya. Dari keterangannya, sudah seminggu ini ia tidak masuk kelas. Dan setiap pagi Riris hanya menulis surat izin sakit.  Pak Rohan dan istrinya pun memutuskan untuk menjenguknya dan sekaligus ingin tahu keadaan keluarganya. Ia ingin melakukan rencananya yang tertunda karena kesibukannya sampai seminggu ini. ia menyesal. “Dias, kemana kamu nak?” Lirihnya dalam hati.

###

Suatu pagi pak Rohan menemui Riri saat jam istirahat. Karena ia tahu Riris adalah teman Dias semenjak pernah telat ketika hujan lebat. Ia meminta Riris agar mengantarkannya kerumah Dias. Riris hanya diam. Ia bingung antara menolak dan mengiyakan.

“Kenapa diam? Bukankah pak guru mengajarkan kita untuk selalu berbuat baik kepada orang lain?” Rohan tahu, Riris menyembunyikan sesuatu darinya.

“m…….m….iya pak, tapi…..” Riris ragu untuk menjawabnya. Tapi akhirnya tanpa rasa takut dan sungkan, tangan mungilnya menarik lengan Rohan. siang itu matahari tengah bersinar terang. Panasnya terasa menyengat kulit. Tanpa rasa ragu Rohan mengikuti Riris memasuki sebuah perkampungan kecil nan asri. Sampailah disebuah rumah bercat putih lusuh. Dari kejauhan tampak seorang gadis dengan umur empat belas tahun berbadan lebih kurus dari biasanya. Di matanya terdapat linkaran hitam dan kulitnya terlihat lebih hitam dari sebelumnya. Gadis itu tengah menyapu di serambi rumahnya.

“Dias” Panggil Riris dengan suara lantang. Sebenarnya ia ragu. Karena sebelumnya ia telah berjanji kepadanya untuk merahasiakan ini semua. Dias spontan menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Ia tercengang melihat sosok yang berdiri di samping sahabatnya itu. Rohan tersenyum seraya menyapanya. Dias lari masuk ke dalam rumahnya. Seperti biasa ia selalu mencoba menghindar, seperti sepanjang sore di bawah pohon cemara di kebun belakang madrasah. Karena rasa ingin membantu sahabatnya tanpa rasa takut Riris mengajak Pak Rohan memasuki rumah Dias. Ia tahu keadaannya. Hati Dias sedang berkabung.

“Apa sebenarnya yang terjadi pada Dias?” Tanya Rohan dalam hatinya. Ia mondar-mandir di ruang tengah rumah sederhana itu. Menunggu Riris yang sedang memanggil Dias di kamarnya. Sejurus kemudian terlihat di muka pintu dan memegang tangan Dias. Dias hanya menunduk tak berani memandang yang berada di hadapannya. Matanya sembab. Mereka duduk di samping pak Rohan.

“Assalmu’alikum Dias….” Sapa Rohan menenangkan keadaan. Lyaknya seorang bapak, Rohan menanyakan masalah yang tengah melanda Dias. Dias terdiam. Matanya berkaca-kaca. Ia tak mampu berkata-kata. Tanpa rasa ragu ia menyerahkan kertas kepada pak Rohan. perlahan ia membukanya.

            Assalmu’alaikum pak,

Sebelumnya saya minta maaf, karena sudah seminggu ini saya tidak masuk kelas. Sebenarnya saya sangat merndukannya. Seperti cemara merindukan air saat musim kemarau.

Saya sangat merindukan madrasah, guru-guru dan teman-teman di sana. Tapi ternyata ayah lebih merindukan saya. Seminggu yang lalu beliau sakit keras selama lima hari. Ini alasan saya selalu datang terlambat ke madrasah. Walaupun saya tahu resikonya.

Hari ketujunya ayah saya tutup usia. Setelah sebelumnya ayah ibu saya juga dipanggil Allah. Saat ini saya merasa sangat terpukul. Dan saya tahu, saya harus belajar bersabar. Seperti yang dikatakan ustazd Rizki tempo hari bahwa Allah selalu bersama orang-orang yang sabar.  

Sebenarnya ayah sakit lebih dari satu bulan, tapi beliau tidak mau jika saya suruh istirahat. Ayah saya tidak pernah mengeluh. Dan untuk yang terakhir kalinya, beliau berkata, “Nak, seandainya Allah ingin mengambil kembali nyawa ayah kesisinya. Ayah ingin agar kamu tetap menjaga kebesihan madrasah itu. Jadikan hal itu bagian dari pengabdian kamu kepada guru-guru kamu. Teruskan perjuangan bapak, walaupun tidak seorang pun yang menganggap kamu” Saya selalu mengingat itu.

Wassalam……………….

            Selesai membaca secarik surat itu, Rohan menatap lekat anak gadis yang duduk di samping Riris. Gadis itu tetap menunduk. Namun saat ini air matanya terus mengalir.

“Nak, kamu sungguh anak yang baik. Tapi saya ingin tahu apa maksud ayah melanjutkan perjuangan itu?” Tanya Rohan. lalu Dias mengangkat pandangannya dan memberanikan diri berbicara.

“Dulu ayah pernah bercerita, sewaktu beliau sering-sering bersih di madrasah…..” suara Dias tercekat dan serak. Air matanya terus bergulir dari sudut matanya yang ranum.

“Maksud Dias, maaf. Ayah pernah menjadi pembersih sekolah?!” Tanya Rohan heran.

“Sebenarnya…beliau adalah orng yang pertama kali mendirikan madrasah itu. Bersama temannya yang bernama Rahmat. Dan pohon cemara yang menjadi hiasan di sekolah kita adalah berkat pengjuan proposal ayah dua tahun setelah madrasah itu berdiri. Tapi ternyata usah ayah dijawab setelah Bapak menjabat sekolah. Dan semenjak itu ayah mulai dikenal banyak orang kampung. Kemudian sejak saat itulah Pak Rahmat memfitnah ayah mengambil uang untuk pembelian tiga puluh pohon cemara. Padahal waktu itu dan itu tidak turun sedikitpun dari pemerintah kabupaten. Sejak saat itu ayah tidak percaya lagi dan saat itu ayah mengalah hanya memilih untuk bersabar. Ayah memutuskan untuk untuk menjaga kebersihan madrasah tanpa sepengetahuan orang sebagai bentuk pengabdiannya, kerana ayah tidak ingin timbul fitnah lagi. Pada waktu ituyang menjadi kepala sekolah adalah anak sulung pak Rahmat. Tapi, tidak sampai satu bulan. Dia dipenjara karena terlibat dalam kasus penyeludupan narkoba. Bapak pernah dengar kan?” Jelas Dias panjang lebar.

Mendengar penjelasannya Rohan kaget dan tak percaya. Ia sangat meneyesali dirinya yang tak tahu tentang masalah ini. ia measa bersalah kepada ayah Dias. Air matanya pun jatuh tak terasa. Ia pun berkata.

“Nak, maafkan saya. Saya tidak tahu akan hal ini. Seandainya saya tahu kejadian ini sejak awal saya tidak akan menerima jabatan ini. sekali lagi maafkan saya…….” Pinta Rohan. raut wajahnya dipenuhi rasa bersalah.

“Tidak, ini bukan salah Bapak” Ucap Dias. Setelah itu ia kembali terdiam.

“Nak, saya harap kamu bersedia untuk tinggal di rumah saya. Saya akan menyekolahkan kamu sampai selesai. Kamu anak yang hebat, kamu anak yang hormat dan patuh kepada guru” Pinta Rohan sejurus kemudian. Mendengar pemintaan Rohan. Dias terdiam dari tangisnya. Sepertinya ia memikirkan sesuatu.

“Pak, maaf saya tidk bisa menerima tawaran ini, saya sudah berjanji kepada ayah untuk menjaga rumah warisan ayah satu-satunya. Hanya ini yang saya miliki”.

            Semenjak hari itu Dias kembali ke Madarasah. Dan menjadi kebangaan semua orang. Karena ia yakin di setelah hujan pasti ada pelangi.

*Alumni Pondok Pesantren Al Amin Prenduan Sumenep

Artikel ini telah dibaca 6 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Dermaga Di Garis Kenangan

29 Oktober 2024 - 22:27 WIB

Kenali 6 Macam-Macam Tradisi Maulid Nabi di Pulau Jawa

14 September 2024 - 19:13 WIB

Kisah Santri Joinan Rokok dengan Kiainya

30 Agustus 2024 - 22:44 WIB

Kisah Santri Miskin Naik Haji karena Taati Guru

30 Agustus 2024 - 22:39 WIB

Tampil Sambut Tamu Kehormatan di Event Internasional, Yuk Intip Makna Perdamaian dalam Tari Sintung di Kabupaten Sumenep Madura

24 Juni 2024 - 12:03 WIB

Mengenal Aneka Tradisi Perayaan Tahun Baru Islam di Jawa Timur

16 Juni 2024 - 06:40 WIB

Trending di Ruang Seni