Santrikeren.id-Direktur Perlindungan BNPT Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Imam Margono menyebutkan pemberdayaan dan pendampingan psikologis merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah kepada korban terorisme.
Tujuannya, kata dia, untuk memulihkan kesejahteraan psikologis korban dan memperkuat ketahanan individu terhadap dampak psikologis yang mereka rasakan akibat aksi terorisme.
“Negara bertanggung jawab untuk memulihkan kesejahteraan psikologis korban dan memperkuat ketahanan individu terhadap hari-hari berat yang dilalui,” kata Brigjen Pol Imam dalam acara pemberdayaan dan pendampingan psikologis di Bandung, Jawa Barat, Rabu (29/5), dikutip dari keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Jumat.
Dengan demikian, dia berharap korban terorisme dapat memiliki pengetahuan mengenai rawat diri dan memiliki ketangguhan dalam mencapai fungsi diri.
Untuk itu, BNPT memberikan pemberdayaan dan pendampingan psikologis dalam rangka pelaksanaan Program Rehabilitasi Psikologis bagi Korban Tindak Pidana Terorisme di Provinsi Jawa Barat pada tahun anggaran 2024.
Menurut Imam, kegiatan tersebut merupakan bentuk representasi negara hadir dalam memberikan pemulihan, perlindungan, dan kesejahteraan bagi seluruh warga negara, khususnya yang menjadi korban terorisme.
BNPT, kata dia, diberikan mandat sebagai koordinator dalam bidang pemulihan korban tindak pidana terorisme, yakni untuk mengoordinasikan pihak-pihak terkait agar memberikan sumbangsih dalam program pemulihan korban.
“Ini sebagai bentuk representasi negara untuk hadir dalam memberikan pemulihan, pelindungan, dan kesejahteraan bagi seluruh warga negaranya,” ungkapnya.
Sementara itu, salah satu korban terorisme di Jawa Barat bernama Joni Rahmat Syahputra menilai sebagai seorang penyintas yang merasakan dampak langsung ledakan bom di Cirebon pada tahun 2011.
Kegiatan pemberdayaan membuat dia yakin adanya kehadiran dan tanggung jawab negara kepada korban terorisme.
“Program seperti ini sangat bagus untuk penyintas karena kami bisa mendapatkan pengalaman dan ilmu setelah kami mengalami kejadian bom. Dengan adanya pendampingan, kami merasa diakui sebagai penyintas (korban),” ujar Joni.
Pada kesempatan yang sama, psikolog Edward Andriyanto Soetardhio menuturkan bahwa aspek psikologi pada korban terorisme sangat perlu menjadi perhatian utama, mengingat sejumlah trauma yang dialami para korban, di antaranya gangguan kecemasan dan emosional, harus dibantu untuk dihilangkan.
“Beberapa penyintas mengatakan bahwa mereka masih memiliki rasa waswas, kecurigaan, mudah marah, dan tidak nyaman, sampai masih rutin mengingat kejadian ledakan bom yang mereka alami dahulu,” ucap Edward.
Adapun kegiatan pemberdayaan dan pendampingan psikologis tersebut terdiri atas sesi pemberian materi merawat diri, membantu orang-orang di sekeliling mereka, serta diskusi keberhasilan penyintas yang mampu bangkit dari trauma peristiwa terorisme.
Kegiatan diikuti oleh puluhan peserta yang sebagian besar merupakan korban terorisme Bom Masjid Adz-Dzikra Polestra Cirebon pada tahun 2011 dan Bom Polsek Astana Anyar Bandung pada tahun 2022.