Oleh: Abdul Warits
Abu Hasan Al-Asy’ari bernasab lengkap Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asy’ari. Ia adalah tokoh besar yang tak pernah mengenal lelah untuk memperjuangkan manhaj (metode, mazhab) Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ia hidup dalam perjuangan mempertahankan ajaran yang lurus yang diajarkan oleh para sahabat Nabi. Ia menghalau setiap pemikiran yang menyimpang di masanya baik dari kalangan yang terlalu berlebihan memakai akal dalam beraqidah seperti sekte Mu’tazilah, maupun dari kalangan ekstremis yang terlalu kaku dalam memahami teks lahiriah Al-Qur’an dan hadits seperti sekte Rafidhah.
Semasa mudanya Abu al-Hasan al-Asy’ari menimba ilmu kepada Ali al-Juba’i seorang tokoh ulama Mu’tazilah yang juga ayah tirinya sebagaimana yang dicatat oleh Shalahuddin ash-Shafadi dalam kitab al-Wafi bil Wafayat. Akan tetapi, justru pengalamannya berdiskusi bersama para pakar sekte Mu’tazilah di masa mudanya kelak menjadi bekal untuk mematahkan setiap argumentasi sekte Mu’tazilah ketika ia telah terpanggil untuk membela manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah.
Peran Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam bidang ilmu aqidah adalah sebagai tokoh yang menguatkan argumentasi serta dalil-dalil yang telah diutarakan oleh para ulama di zaman sebelumnya. Ia adalah tokoh yang terang-terangan melawan segenap aqidah yang menyimpang dari pemahaman yang diajarkan para sahabat Nabi. Ia menghadapi para pembesar sekte-sekte yang sesat dengan gagah berani untuk menjalankan wasiat baginda Nabi.
Abu Al-hasan Al-asy’ari sebenarnya adalah seorang yang pernah menganut paham muktazilah. Meski pada akhirnya ia sadar bahwa ahlussunnah adalah jalan terbaik. Menurut Tajudin As-subki menyatakan bahwa selama 40 tahun Abu Hasan Al-Asy’ari menganut paham muktazilah sebelum akhirnya Allah melapangkan dadanya lalu membela agama Allah dengan membantah segala pemikiran yang sesat.
Abu Hasan Al-Asyari memang dikenal sebagai ulama yang memiliki kecerdasan dan ketajaman pemahaman yang sangat luar biasa, zuhud, dan qanaah. Bukti-bukti tentang keteladaannya dapat kita temukan dari sikapnya untuk melakukan shalat istikharah saat dirinya dan umatnya dirundung permasalahan akidah yang luar biasa ketika itu. Kemudian, ketika tertidur ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah dan diperintahkan untuk menetapi sunnahnya.
Sejak saat itulah, Abu Hasan Al-Asyari berpegang teguh pada prinsip ahlussunnah wal jamaah. Bahkan, ia berhasil menulis beberapa karya yang luar biasa sehingga memiliki beberapa karya besar dalam berbagai bidang ilmu. Di dalam ilmu Hadits, Abu al-Hasan al-Asy’ari membuat kitab khusus yang berisikan bantahan terhadap Ibnu Rawandi, salah satu tokoh Mu’tazilah yang menentang hadits mutawattir.
Di bidang tafsir Al-Qur’an, beliau menulis kitab tafsir al-Mukhtazin. Di bidang ushul fiqh, beliau menulis kitab al-Ijtihad dan al-Qiyas. Menurut Ibnu as-Sakir, Abu al-Hasan al-Asy’ari memiliki 90 karya tulis. Menurut Ibnu Hazm, Ibnu Katsir, dan Ibnu Imad al-Hambali, beliau memiliki 55 karya tulis.
Menurut Tajuddin as-Subuki, beliau memiliki 21 karya tulis. Akan tetapi, saat ini hanya ada 8 karya beliau yang tercetak, yaitu kitab Maqalat al-Islamiyyah, kitab al-Luma’ fi Radd ala Ahli Zaigh wal Bida’, kitab Tasir al-Qur’an, kitab al-Imad fi Ru’ya, kitab Risalah al-Iman, kitab Risalah al-Istihsan al-Khaud di Ilm al-Kalam, kitab Qaul Jumlah Ashab al-Hadits wa Ahlussunnah fi al-I’tiqad, dan kitab al-Ibanah an Ushul ad-Diyanah.