Karakter seseorang seringkali dipengaruhi oleh orang tua mereka. Karena ada pepatah yang bilang, “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya,” dan itu sangat bener banget.
Jadi, kalau orang tua pandai dalam hal tertentu, biasanya anaknya juga bakal punya bakat yang sama. Misalnya, kalau orang tua suka bermusik, anaknya kemungkinan besar juga jago musik. Atau kalau orang tua hobinya baca-baca buku dan menulis, anaknya seringkali ikut-ikutan.
Nah, itu semua karena lingkungan keluarga mempengaruhi sekali dalam membentuk kepribadian kita, teman-teman! Tapi, ada juga kasus-kasus yang berbeda. Contohnya, anak ulama yang berharap banget bisa meneladani ayahnya, tapi ternyata kok jalan hidupnya berbeda.
Meskipun ayahnya pengen agar anaknya bisa meneruskan perjuangannya dan jadi orang bermanfaat, tapi ternyata tidak sesuai dengan harapan. Ternyata, pepatah “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya,” kadang juga tidak sesuai dengan realita.
Hal ini sebagaimana kisah yang akan kami uraikan di bawah ini. Yaitu sebuah kisah di mana anak seorang ulama, akan tetapi tidak bisa meneruskan perjuangan dari ayahnya.
Kenapa hal ini bisa terjadi?
Dalam kitab Minan al-Kubro, ada penjelasan menarik dari pendapat Imam ‘Ali al-Khowas tentang mengapa kadang-kadang anak ulama tidak bisa mengikuti jejak ayah atau para pendahulunya dalam ilmu dan perilaku.
Menurut Imam ‘Ali al-Khowas, salah satu alasannya adalah karena anak-anak ini sering hidup dalam kenyamanan dan mendapatkan perlakuan istimewa dari orang-orang sejak kecil.
Bayangkan, mereka selalu diperlakukan dengan hormat oleh santri ayahnya, bahkan mencium tangan mereka dan menggendong mereka di atas bahu. Mereka merasa sangat dihargai dan dimanja, karena ayah mereka adalah seorang ulama terkenal.
Namun, hal ini justru bisa membuat mereka menjadi sombong dan merasa lebih unggul dari orang lain. Mereka terbiasa merasa dianggap istimewa karena kedudukan dan keilmuan ayah mereka. Akibatnya, hati mereka bisa terlalu terpenuhi dengan rasa kesombongan.
Akibat sikap ini, mereka mungkin tidak mau menerima nasihat atau arahan dari orang lain, bahkan berlaku kurang sopan terhadap mereka yang lebih tua.
Mereka mungkin merasa bahwa mereka akan selalu mendapat perlakuan khusus karena hubungan dengan ayah mereka, dan ini membuat mereka mengandalkan ayahnya untuk kesuksesan tanpa berusaha sendiri.
Jadi, itulah inti dari pendapat Imam ‘Ali al-Khowas mengenai mengapa ada anak-anak ulama yang tidak bisa meniru ilmu dan perilaku ayahnya.
Hikmah yang dapat diambil
Jadi, hikmah yang dapat diambil dari kisah di atas adalah kesombongan seringkali menghalangi seseorang untuk mengembangkan potensi dirinya. Walaupun anak tersebut lahir dan tumbuh dari keluarga ulama yang terkenal.
Lingkungan keluarga dan pendidikan, memang sangat berpengaruh dalam membentuk karakter dan perilaku anak. Orang tua memiliki peran besar dalam memberikan teladan yang baik dan menciptakan lingkungan positif bagi pertumbuhan kita.
Namun di lingkungan keluarga yang memiliki kehormatan yang tinggi di tengah-tengah masyarakat, kita juga perlu untuk menjaga kesederhanaan dan rendah hati, tidak terpengaruh oleh perlakuan istimewa.
Berusaha sekuat mungkin untuk menghindari kesombongan, karena bisa membawa kerugian. Sombong bisa menghambat perkembangan diri. Oleh karena itu, penting untuk tetap rendah hati dan terbuka terhadap masukan dan kritik dari orang lain.
Karena sikap rendah hati akan membuat kita lebih mudah menerima masukan dari orang lain dan menghargai setiap individu dengan baik.
Hal itu juga yang akan menunjang kesuksesan seseorang, yang mau berusaha untuk bertanya kepada siapa saja, tanpa memandang dan menganggap seseorang lebih rendah dari kita. Bukan mengandalkan nama atau prestasi orang tua
Semoga cerita ini memberikan inspirasi dan menjadi pelajaran berharga bagi kita semua!