Oleh : Aldi Hidayat
إن الله يقيم الدولة العادلة ولو كانت كافرة ولا يقيم الدولة الظالمة ولو كانت مسلمة. الدنيا تدوم مع العدل والكفر ولا تدوم مع الظلم والإسلام.
Sesungguhnya Allah akan menegakkan negara yang adil, sekalipun kafir dan tidak akan menegakkan negara yang lalim, sekalipun muslim. Dunia akan bertahan dengan keadilan dan kekafiran dan takkan bertahan dengan kelaliman dan Islam.
Ibnu Taimiyah
Radikalisme merujuk A.M. Hendropriyono dalam Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, adalah problem di hampir semua agama, khususnya tiga agama samawi dunia; Yahudi, Kristen dan Islam. Hanya saja, resonansinya dalam beberapa waktu yang lama condong berafiliasi dengan Islam. Pada gilirannya, mengemuka pandangan reduktif atas radikalisme, paling tidak dari dua sudut.
Radikalisme identik dengan Islam, padahal ia adalah gejala global di hampir semua agama. Hanya saja, sudut yang satu ini tidak terlalu signifikan untuk penulis paparkan. Sudut lain yang mereduksi radikalisme ialah karena radikalisme intens berkonotasi dengan Islam, maka akar dan cara solutif atasnya juga cenderung berbau agama. Dengan kata lain, radikalisme dipahami sebagai problem kekakuan dalam beragama. Dengan sendirinya, solusi atasnya harus bercorak agamis. Tak heran, konsentrasi segenap pengamat atas radikalisme selalu mengarah dua kata kunci, yaitu konservasi dan moderasi.
Dalam artian, dia yang terpapar radikalisme sempit, primitif, kaku, kolot, dangkal dan konservatif dalam memahami agama. Sebagai solusinya, mulai dari agamawan, ilmuwan, cendekiawan hingga warga awam mengajukan moderasi guna membendung gelombang bahaya ini. Dua kata kunci dimaksud sekalipun cukup akurat dalam mengidentifikasi radikalisme, keduanya sebetulnya masih tidak begitu mengena ke jantung persoalan.
Pasalnya, problem maker (biang keladi) sekaligus problem solver (pemberi solusi) bagi radikalisme adalah politik, bukan agama. Terbukti, radikalisme Islam, selaku sorotan utama tulisan ini, pertama kali bermula pada era khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib, pasca peristiwa tahkim (arbitrase) antara kubu dia dan kubu Mu’awiyah. Keputusan ‘Ali untuk menempuh jalur damai memacu kekecewaan sebagian pengikutnya yang kemudian menyempal menjadi kelompok Khawarij. Segera setelah itu, konflik politik memicu konflik teologis di mana pihak Khawarij mengafirkan kubu ‘Ali dan Mu’awiyah.
Memasuki era modern, gerakan Islam radikal, semisal HT dan Ikhwanul Muslimin, juga lahir dari kecamuk politik yang kolonialis. HT yang muncul di Palestina merupakan respon atas kelaliman Israel yang secara politis memenangkan perebutan daulat atas tanah Palestina. Ikhwanul Muslimin yang berdiri di Mesir juga respon atas kolonialisme Barat, terutama Prancis dan Inggris.
Rezim Saddam Husein misalnya yang lengser akibat propaganda bahwa dia biang kerok terorisme global sebenarnya bukan karena kekakuannya dalam memahami Islam, tetapi karena kekecewaan yang mendalam terhadap intervensi kolonialis Amerika. Dari situ, dia menggalang kekuatan anti-Amerika. Amerika membalasnya dengan invasi, balasan yang sangat tidak setimpal, mengingat Saddam Husein tidak berpretensi mengancurkan Amerika sama sekali, melainkan menghentikan dominasi Amerika atas negara-negara Dunia Ketiga. Invasi Amerika atas Irak kala itu sungguh di luar nalar. Ratusan bom, rudal dan peluru bersarang di negeri 10001 Malam tersebut hanya berdasarkan tuduhan teroris global yang di kemudian hari tuduhan itu terbukti hoax.
Demikian pula, radikalisme Islam di Indonesia, seperti disuarakan oleh FPI, muncul terutama karena tekanan politis yang berlangsung sejak Orde Baru. Dikotomi warga kepada Islamis dan nasionalis kala itu menimbulkan tekanan luar biasa bagi kalangan muslim, meskipun tidak sepenuhnya, namun pasti sebagian muslim di situ tersisihkan. Ketersisihan itu lantas memantik lahirnya radikalisme pasca tumbangnya Orde Baru.
Samuel P. Huntington dalam The Clasch of Civilization and the Remaking of World Order, melansir tiga pilar kehidupan, yaitu politik, ekonomi dan pendidikan. Hanya saja, tipe ketiga, yaitu pendidikan, sebenarnya masih distortif, sebab pilar ketiga adalah kebudayaan, di mana pendidikan merupakan bagian darinya. Agama dan budaya pada konteks Indonesia merupakan senyawa, walaupun keduanya tidak sama persis.
Secara teoritis, Jurgen Habermas merumuskan bahwa state (negara) merupakan perselingkuhan antara politik dan ekonomi. Lebih tepatnya, persekongkolan antara penguasa dan pengusaha. Tak heran, sejarah politik Indonesia selalu ternodai oleh pasal yang dapat dibeli, donasi terhadap partai dari pengusaha, tidak murni, bahkan bukan dari swadaya, atau secara umummeminjam istilah Rocky Gerungblack market of power (pasar gelap kekuasaan).
Dalam keadaan di mana dua pilar peradaban sudah bersenyawa, maka satu-satunya pilar yang masih cukup netral ialah kebudayaan. Di situ, agama hadir sebagai energi integral dalam menghalau propaganda, diskriminasi dan kelaliman negara. Perlawanan itu memuncak menjelma radikalisme, fundamentalisme, ekstremisme dan terorisme.
Lebih tegasnya, komposisi faktor bagi lahirnya radikalisme didominasi oleh motif politis dibanding agamis. Sayangnya, sorotas atas sisi politis ini jarang kita jumpai, minimal pada tataran populis, bukan tingkat elit akademis. Senantiasa dikampanyekan radikalisme berakar dari kedangkalan memahami agama, maka solusinya ialah memviralkan doktrin dan wacana moderasi beragama.
Tinjauan atas sisi politis radikalisme ini secara umum terpola pada dua perspektif. Pertama, kuasa-sentris yang memandang radikalisme semata sebagai respon atas kekalahan kontestasi merebut kekuasaan. Perspektif ini cukup dominan di kalangan akademisi, sehingga memangkas objektifitas orientasi yang didambakan oleh gerakan radikal. Artinya, gerakan radikal seakan-akan dianggap hanya dan hanya berhasrat atas kekuasaan, seolah sama sekali tidak punya target akan nilai-nilai adiluhung, minimal dari sudut Islam, selaku topik utama isu radikalisme tulisan ini.
Kedua, nilai-sentris yang menunjukkan bahwa politik saat sekarang memang carut-macut, silang-sengkarut dan korup. Lebih jelasnya, praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) masih menjadi parasit kronis praktek politik negeri ini. Kekacauan ini tentu merupakan salah satukalau tidak mau menyebutsatu-satunya faktor mengapa radikalisme masih mengancam negeri ini. Susah dipungkiri betapa afiliasi ormas, partai dan institusi masih sangat menentukan arah politik Indonesia ke depan. Dengan sendirinya, politik negeri ini masih sangat nepotis. Saking nepotisnya sampai mustahil menciptakan iklim politik yang benar-benar demokratis. Akhirnya, gerakan radikalterlepas dari pelbagai motif kelahirannyaseakan murni gerakan perebutan kekuasaan, nyaris tidak memuat unsur perjuangan dan pengabdian.
Dengan demikian, kajian atas radikalisme mesti menambah satu kata kunci lagi yang justru lebih dominan dibanding dua kata kunci sebelumnya dalam memandang masa depan radikalisme, yakni politik. Dalam hal ini, politik mempunyai dua peran sekaligus. Satu sisi politik merupakan problem maker (biang keladi) timbulnya radikalisme. Dalam artian, politik yang koruptif, kolutif dan nepotislah biang kerok utama radikalisme, bukan agama. Selanjutnya, solusi atas radikalisme bukan moderasi agama, melainkan moderasi negara. Dengan kata lain, politik yang benar-benar menghidupkan demokrasi, egalitarianisme, emansipasi, kejujuran dan secara umum kemanusiaan itulah solusi untuk memangkas, bahkan memberantas radikalisme. Dalam hal ini, petuah Ibnu Taimiyah layak kita hayati:
إن الله يقيم الدولة العادلة ولو كانت كافرة ولا يقيم الدولة الظالمة ولو كانت مسلمة. الدنيا تدوم مع العدل والكفر ولا تدوم مع الظلم والإسلام.
Sesungguhnya Allah akan menegakkan negara yang adil, sekalipun kafir dan tidak akan menegakkan negara yang lalim, sekalipun muslim. Dunia akan bertahan dengan keadilan dan kekafiran dan takkan bertahan dengan kelaliman dan Islam.
*Lurah Komunitas Kutub Yogyakarta.