Dalam wacana literatur klasik (turâts), mengangkat seorang pemimpin (nashb al–imâmah) merupakan isu penting yang banyak dibicarakan.’ Para ulama hanya berbeda mengenai dasar dari kewajiban ini. Satu versi menyatakan, dasar kewajiban nashb al-imâmah adalah akal (logika). Sebab secara logika, sebuah komunitas sosial sekecil apapun berpotensi terjadi kezhaliman dan konflik internal jika tanpa adanya pemimpin. Yang kuat akan menindas yang lemah, yang mayoritas akan menindas yang minoritas. Maka rasional apabila keberadaan pemimpin dianggap sangat primer (ḍarūrī).
Versi lain menyatakan, dasar kewajiban nashb al-imāmah adalah syara’ (agama), sebab pemimpin dibutuhkan bukan semata untuk menghindarkan konflik horisontal, melainkan untuk menjalankan syariat dalam tatanan kehidupan. Selain alasan itu, versi ini juga menggunakan dasar ijma’ sahabat yang terjadi pasca wafatnya Nabi saw. serta firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُوْلَ وَأُوْلِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, Rasul dan ulil amri di antara kamu”. (QS. An-Nisa’: 59)
Instruksi al-Quran untuk taat kepada ulil amri (pemimpin) ini secara implisit juga meniscayakan terhadap perintah pengangkatan pemimpin. Sebab tanpa keberadaan pemimpin, instruksi ketaatan tidak bisa direalisasikan. Di dalam kitab Faid al-Qadīr, al-Munāwī menyebutkan:
“Aturan agama tidak akan dapat terwujud kecuali dengan ilmu dan ibadah. Dan semua itu tidak akan diperoleh kecuali melalui kepemimpinan yang dipatuhi.”[1]
Statemen ini mengandung arti, eksistensi kepemimpinan politik menjadi syarat bagi eksistensi agama. Agama tidak akan bisa ditegakkan dalam kehidupan masyarakat tanpa kehadiran pemimpin, sehingga pada titik inilah kewajiban mengangkat pemimpin dibebankan.
Dalam wacana Islam, mengangkat seseorang untuk menduduki jabatan politik pemimpin negara (al-imāmah), pada dasarnya bukanlah segalanya (ghāyah), melainkan hanya sebagai sarana (wasīlah) untuk melaksanakan kewajiban menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Menunaikan amar ma’ruf nahi munkar inilah, tujuan besar (ghāyah) sebenamya dari pengangkatan imam (nashb al-imāmah). Amar ma’ruf nahi munkar adalah menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Bagi umat Islam, amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban agama yang sangat fundamental.
Sebab tanpa kewajiban ini, niscaya dunia hanya akan menjadi panggung angkara murka.¹ Lantaran kewajiban mulia ini pula umat Islam menyandang predikat sebagai umat terbaik, sebagaimana firman Allah:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar”. (QS. Ali Imrân: 110)
Baca tentang Alasan Presiden Wajib Mengangkat Menteri
Baca juga: Pro Kontra Memblokir Situb Web yang Berbahaya
Follow instagram Duta Damai Santri Jawa Timur
[1] Al-Munāwī, Faid al-Qadīr Syarah Jami’ as-Shoghir (Mesir: Maktabah at-Tijariyyah, 1356), IV/53.
Kenapa Pemimpin Harus Dipatuhi
Kenapa Pemimpin Harus Dipatuhi